Dengan nama Allah,, ^^
....sambil menikmati alunan lirik
‘Diam-Diam Suka’-nya Cherybelle... Ehem! ahseek :p
Sebelumnya, saya warning dulu, ini cerita cukup panjang..
jadi buat yang punya keperluan sangat mendesak, silakan dipenuhi dulu hajatnya daripada
nanti terinterupsi pas lagi baca tulisan ini :p. Buat yang sudah terpenuhi
hajatnya, here we go...
******************************
-Intro-
Empat malam yang lalu, di kos
ternyaman sedunia. Saya bersama dua orang penting (penting dalam hidup saya
maksudnya) lagi mbahas soalan yang pentingg bangett, yaitu: macem-macem
kepribadian orang berdasarkan golongan darah –super penting >,<. Sahabat
saya yang adalah salah satu follower
semacam twitter golongan darah gitu membacakan tweet2an dari twitternya itu
(mohon maaf sebelumnya kalo saya salah2 pake istilah2 twitter, karena eh karena
saya gak punya twitter dan sampai sekarang belum kepikiran untuk bikin akun
disitu.hoho). Pas lagi sampe di bahasan tentang masa lalu, di twitternya itu
dibilang bahwa orang golongan darah O –yang mana adalah saya salah satunya–
tidak pernah menyesali masa lalu, karena mereka menganggap bisa belajar banyak
dari masa lalu. Saya langsung mikir, bener
banget. Golongan darah B: mudah melupakan yang lalu, tapi sulit melupakan
yang saat ini. Errr, padahal kan yang saat
ini juga kelak menjadi masa lalu, jadi intinya orang B suka melupakan. Peace ^^.. Golongan darah AB : sentimentil
to the past.. Jadi sering keinget-inget
gitu maksudnya. Satu lagi golongan darah A: mmm. sik. saya lupa. -,-“ hehe. Saya gak tahu menahu sih gimana cara twitternya itu bisa menyimpulkan
seperti itu. Haha. Ada sih yang gak
pas. Tapi banyak juga loh yang pas.
Pas bener maksudnya. Yah buat seru2an aja. hehe.
Kembali lagi ke golongan darah O
tadi. Tidak pernah menyesali masa lalu. Never
regret the past. Ya ampun ini saya banget. Haha. Tenang-tenang, saya tidak hendak curcol. Tapi obrolan kami di
malam itu mengingatkan saya pada satu kisah yang sudah lama sebenarnya ingin
saya tuliskan, tapi entah kenapa kelupaan terus. Sebuah kisah di masa lalu
*tsaaah* yang tidak pernah saya sesali terjadinya, bahkan saya bersyukur Allah
telah menjadikan ini bagian dari masa lalu saya. Kisah ini adalah salah satu
pengalaman hidup yang teramat berharga untuk saya pribadi. Ini kisah tentang
saya, kesalahan-kesalahan saya, akibat dari kesalahan-kesalahan saya, dan
bagaimana Allah mentarbiyah (baca: mendidik saya, pen.) untuk menyadari
kesalahan-kesalahan itu hingga kemudian saya bisa berbenah diri untuk menjadi
manusia yang lebih baik di mata Allah. Allah itu tahu setiap kelemahan kita,
sehingga Ia tahu di sisi mana harus mengingatkan kita dan dengan cara apa. Saya
tidak ingin membuka aib-aib dan kesalahan saya, karena bukankah Allah telah
menutup setiap aib dan kesalahan kita? Saya hanya berharap, benar-benar berdoa,
semoga siapa pun yang membaca dan mengetahui kisah ini bisa mengambil hikmah
sebesar-besarnya.. mengambil kebaikan di dalamnya, supaya kita sama-sama bisa
menjadi manusia yang lebih baik, untuk Allah.. dan saya juga bisa kecipratan
pahalanya. hehe. aamiin. ^^
****************************************************************************
Kisah ini terjadi sekitar 2
tahunan yang lalu. Ya Allah, cepatnya
waktu.. gak terasa udah 2 tahun. Waktu itu sekitar Februari s.d. April
2011. Saat itu saya masih berprofesi sebagai koas di RSUP terkenal di Jogja.
Saya lagi menjalani salah satu stase besar. Informasi sedikit buat yang belum
tahu, stase itu maksudnya bagian. Jadi misalnya bagian penyakit dalam, anak,
bedah, saraf, dll. Stase besar itu salah satu dari 4 bagian ini: anak, penyakit
dalam, bedah or obsgyn –kandungan kebidanan). Oke, back to the story. Akhir Februari itu adalah jadwal saya
menjalani ujian di stase tersebut. Stase nya apa, gak usah dibahas. Hehe. Ujiannya adalah tanya jawab lisan
langsung duet (duet apa duel?) dengan dokter spesialis. Nah, yang menariknya, dokter
spesialis pengujinya ditentukan melalui proses undian. Singkat cerita,
sampailah di pengumumam dosen penguji, dan ternyata dosen penguji saya adalah
dokter spesialis –yg bisa dibilang– paling mumpuni di bagian itu. Pas tau siapa
dosen penguji saya, saya langsung siap-siap cari kasus dan belajar optimal dah
pokoknya. Biar cepet selesai ujiannya,
dapet nilai bagus, pikir saya waktu itu.
Sebelum lanjut cerita ini, saya mau
mundurin lagi sejenak ke sekitar 10-12 bulan sebelumnya. Awal saya masuk koas..
Dulu, saya termasuk orang yang
cukup mudah terbawa lingkungan. Lingkungan yang kondusif ke arah kebaikan akan
cepat membuat saya menjadi orang yang baik, lingkungan yang gak mendukung akan
membuat saya rentan menjauh dari kebaikan. Mungkin karena saat itu saya belum
punya perisai diri yang cukup kuat (baca: masih labil), sehingga mudah sekali
terbawa arus lingkungan. Sejak awal masuk koas, saya udah merasa cukup tertekan
dan stress dengan lingkungan klinis yang, menurut saya saat itu, sangat men’dewa-dewa’kan
manusia (baca: senior dan dosen). Ada yang pernah nonton drama Korea ‘Brain’?
Kalo udah, ya mungkin kira-kira seperti itulah kehidupan koas-residen junior
(residen: dokter umum yang lagi studi spesialis)-residen senior-dokter
spesialis. Kalo yang belum nonton, aduh nonton deh. Highly recommended
ituhhhh. Balik lagi ke awal koas saya. Jadi memang tidak berlebihan saya rasa
ketika ada celetukan-celetukan macam: KOAS –Korps Orang Aneh Serbasalah, atau
KOAS=PROFESOR –profesi faling ngisor (=profesi paling terbawah. Udah paling,
ter- lagi, hiperbola kan gue jadinya-,-“).
Pas koas itu, saya merasa
benar-benar harus berbuat yang terbaik buat senior or dosen. Harus patuh sama
maunya mereka. Harus nurutin pengennya mereka. Jangan sampai bikin mereka gak seneng sama saya. Kondisi ini
sesungguhnya benar-benar bikin saya stress. Sangat. Untungnya, teman-teman
sekelompok saya pas koas orangnya asik-asik, seneng main, toleran, asik lah
pokoknya. Itu bisa sedikit meredam stress nya saya saat itu. Biarpun begitu,
hidup saya tetap gak tenang. Hidup saya jadinya hanya saya isi dengan
rutinitas-rutinitas koas aja. Ke RS (jaga pagi or siang or malem, nyari kasus,
disuruh-suruh residen, sering kena omel), pulang kos (ngerjain tugas or nyari
bahan presentasi or ngerjain laporan kasus), balik RS lagi.. Begituuuu terus
setiap hari... Loh trus kenapa? Bukannya
bener ya harusnya begitu?
Hmm.. lantas apa kabar dengan Sholat
saya? Puasa sunnah saya? Ngaji saya? Tilawah quran saya? Sholat dluha saya?
Sholat malam saya? Sholat rawatib saya? Bagaimana juga dengan hafalan quran
saya? Zikir harian? Datang kajian?
Jawabannya: sejak awal saya koas
hingga 10 bulan kemudian.. semua amalan yaumiah (amalan harian) saya itu terus
mengalami penurunan, hingga.. puncaknya adalah sekitar bulan Februari 2011
itu.. huffhh.. ketika itu amalan saya
benar-benar hanya tersisa Sholat wajib 5 waktu. Bahkan itupun bukanlah sholat
terbaik yang saya usahakan. Sholat wajib saya saat itu hanya seperti sekadar
menggugurkan kewajiban, tidak memedulikan tepat waktu/ tidak, tidak peduli
jama’ah/ tidak, dengan level kekhusyukan yang sangat memprihatinkan. Sholat
sunnah, puasa sunnah, tilawah, apalagi kajian atau menambah hafalan quran.. ya
Allah.. semua itu semakin jauh dari saya saat itu. Saya saat itu lebih patuh
sama panggilan dosen atau residen dibandingkan oleh panggilan Allah. Saya lebih
khawatir kalau dosen atau residen nyariin saya, dibanding kalau Allah yang
nyari saya. Astaghfirullaah.. astaghfirullaah.. Padahal, saya sadari
kemudian, inilah yang menjadi sumber masalah sebenar-benarnya masalah bagi
saya. Menomorduakan Allah. Benar-benar memprihatinkan. Kondisi ruhani saya
terjun bebas alias merosot drastis dibandingkan sebelum koas. Astaghfirullaah..
Hingga tibalah saat ujian pas
bulan Februari itu.. Saya maju pertama kali sama dosennya, sudah siap kasus,
sudah merasa PeDe, mudah-mudahan bisa segera selesai.. Hasilnya:
Day 1 maju ujian: Saya langsung
kena marah, harus ngulang besoknya
Day 2: Kena marah lagi....
*Mulai stresssss*
Day 3: Kena maraahhh...
*stresss abisss....* sampai harus
tertunda untuk ujian lagi setelah stase berikutnya.. Yaitu bulan April 2011...
di fase ini, saya mulai bertanya sama diri saya sendiri, Kenapa? Apa yang salah? Saya sudah belajar. Tapi gak bisa juga menjawab
pertanyaan dosen saya. Apa karena gugup? Atau takut? Kenapaaa? Kenaaapaaa kok
saya ujian gak selesai-selesaiiiii???
Day 4 (maju ujian ke-4 kalinya,
di bulan April 2011): Kenaaa maraaahhh
*Saya depresi. Literally. Saya
tes kuesioner depresi yang saya dapat pas stase saraf, hasilnya: I was
moderately depressed. -,-‘* Makan gak selera. Padahal saya orang yang tidak
pernah tidak selera makan. Tidur tidak nyenyak. Padahal saya orang yang paling
mudah tidur, sampai pernah bapak saya suatu kali bilang, “Nadia kok gampang
banget tidurnya Ya, kayak orang gak banyak pikiran.” Iya, memang seperti itulah
saya aslinya, gampang tidur. Kapanpun, dimanapun, sedang melakukan apapun, yang
saya pikirkan hanya ujian, ujian, ujian. Detik demi detik saya lalui tanpa bisa
memikirkan hal selain ujian. Ya Allah,, benar-benar menyedihkan kondisi saya
saat itu..
Day 5 (maju ujian ke-5): kenaaaa
maraaahhhh
Nah. Di sinilah. Inilah masa
kritis saya. Saya benar-benar stuck. Saya berkali-kali mengulang tanya ke diri
saya sendiri, Kenapa? Kenapa? Apa yang
salah?
Sampai tiba-tiba, saya seperti
tersadar. Seperti ada suara-suara dalam benak saya, mengatakan: Kamu butuh nasihat. Mintalah nasihat.
Mintalah nasihat. Dan seperti sudah dalam satu komando, sepulang ujian hari
itu tangan saya langsung mencari HP dan meng-sms seseorang.. saya minta ketemu,
hanya bilang saya sedang butuh nasihat.. langsung dibalas... beliau menyanggupi
kami bertemu di kampus...
Bergegaslah saya ke kampus..
orang yang saya temui ini adalah salah seorang senior saya pas kuliah. Seorang
muslimah sejati. Seorang yang nasihatnya selalu menyentuh ke hati saya. Seorang
yang senantiasa saya hormati, dulu, sekarang, dan sampai kapan pun.. Seorang
yang saya cintai. Saya cintai karena Allah. Karena agamanya, karena
keistiqomahannya, karena nasihat-nasihatnya, karena cintanya pada Allah dan
pada apapun yang mendatangkan cinta Allah padanya. Bahkan menulis bagian ini
pun tak urung air mata saya kembali merebak. Mengingat kejadian itu.. di sore
itu.. bersamanya.. di waktu-waktu kritis saya, beliaulah orang yang Allah pilih
untuk menasihati saya.. Semoga Allah senantiasa memuliakan hidupnya di dunia
ini, dan kelak di akhirat.. Aamiin..
Setelah bertemu, langsung saya
menceritakan semuanya.. tentang ujian saya yang gak selesai-selesai.. tentang
sedihnya saya belum bisa lulus ujian 5x.. tentang depresinya saya.. tentang
koas.. tentang degradasi amalan-amalan saya.. semuanya.. semuanya.. menangis
saya di depan beliau. Padahal tidak pernah sekalipun saya menangis di depan dosen
penguji saya meskipun berkali-kali kena marah di hadapan teman koas yang lain,
bahkan residen.. Tapi di depan mba saya ini, saya menangis sejadi-jadinya... hingga
sampailah di waktu beliau yang memberikan nasihat. Saat saya selesai bercerita
itu memang persis selesai azan asar, beliau hanya bertanya, “Lagi sholat dek?”
“Iya,” saya bilang. “Sholat dulu yuk,” ajak beliau.
Sholat asar lah kami, berjama’ah.
Di musholla S2 kampus.. beliau mengimami.. sholat yang tenang, menyenangkan... selesai
sholat, beliau tanya ke saya, “Bawa qur’an gak dek?”. Saya jawab, “Bawa.”
Beliau lalu bilang, “Buka surat At-Taubah ayat 24. Baca sampai selesai.”
Saya belum tahu sama sekali waktu
itu At-Taubah ayat 24 tentang apa, isi suratnya, artinya.. belum tahu. Tapi
saya nurut.. Saya buka qur’an.. Cari At-Taubah, surat ke-9.. ayat 24.. seperti
inilah ayatnya:
24. Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
Normalnya nih, dalam kondisi
normal seperti sekarang misalnya, saya membaca satu ayat ini beserta artinya tidak
lebih dari 35 detik. Tapi saat itu, di hadapan si mba, di mushola S2 Fakultas,
satu ayat beserta artinya itu saya baca sekitar 5-6 menit. Satu ayat. Berkali-kali
air mata saya meleleh, pandangan saya mengabur, perut saya mules tidak karuan, dada
saya penuh sesak, sakit minta ampun seolah-olah siap meledak. Inilah
jawabannya. Inilah jawaban dari pertanyaan saya.. Kenapa? Apa yang salah? Apa yang salah? Ayat inilah jawabannya. Karena
saya lebih mencintai koas saya dibandingkan Allah dan Rasul-Nya. Saya lebih
cinta pada nilai dan senior dan dosen dibanding Allah dan Rasulnya. Saya lebih
memprioritaskan anggapan dosen dan senior ke saya dibanding anggapan Allah ke
saya. Astaghfirullaah, astaghfirullaah.. Berkali-kali saya sesenggukan di hadapan
si mba. Gak kuat saya rasanya membaca huruf demi huruf dalam ayat itu hingga
sempurna sampai akhir ayat. Namun, semakin saya terlihat kepayahan menyelesaikan
ayat itu, beliau justru semakin kuat mendorong saya, “Selesaikan. Selesaikan
satu ayat.” Sampailah di akhir ayat itu,, maka
tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya, dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang fasik. Ya Allah, inilah keputusan Allah.
Inilah waktu yang saya disuruh menunggu. Sebagai akibat dari
kesalahan-kesalahan saya, dari kelalaian-kelalaian saya pada perintah Allah..
pada teladan Rasul-Nya.. kelalaian saya berjuang di jalan-Nya.. Kesalahan,
kelalaian saya kepada Allah membuat ujian saya tertangguhkan, membuat saya tidak lulus-lulus ujian, membuat saya
justru terlihat semakin buruk di hadapan dosen dan teman-teman saya..
Setelah waktu yang lama.. 5 atau
6 menit.. selesai saya membaca ayat itu, beliau berpesan. “Dik, adik tadi minta
nasihat. Nasihat mba, sebelum adik mengevaluasi diri adik dengan dosen atau bahan
ujian atau lainnya, evaluasi terlebih dahulu hubungan adik dengan Allah. Lalu
bila adik sudah tahu ada yang salah, perbaiki. Perbaiki segera hubungan adik dengan
Allah. Itu saja. Itu saja yang saat ini adik harus lakukan. Perbaiki hubungan dengan
Allah. Ikhlas pada setiap takdir-Nya. Adik tidak lulus-lulus ujian ini bukan
tanpa sepengetahuan Allah. Allah tahu, dan Allah mengizinkan itu terjadi. Itu
takdir-Nya. Ikhlaskan menerima takdir itu. Perbaiki hubungan adik dengan Allah.
Setiap peristiwa dalam hidup kita adalah tarbiyah (pendidikan, pen.) dari Allah.
Ketika hubungan adik dengan Allah sudah baik, lihatlah bagaimana Allah yang
memperbaiki hubungan adik dengan seisi dunia ini.”
Sepulang dari kampus sore itu,
saya langsung berbenah diri. Saya kuliti hati saya lapis demi lapis, mengevaluasi
setiap simpul hubungan saya dengan Allah. Menyungkur saya bersujud penuh haru
atas satu anugerah yang Allah berikan di sore itu. Nasihat yang baik. Nasihat dari
seorang saudari yang shalilah. Semoga Allah tidak menggolongkan saya ke dalam
golongan orang-orang yang fasik seperti termaktub dalam akhir ayat 24 surat
at-Taubah itu. Dan di malam itulah pertama kalinya setelah sekian lama (hampir
2 bulan) saya bisa tidur dengan nyenyak, setelah mengikhlaskan setiap takdir
yang kelak akan Allah berlakukan pada saya esok harinya dan hari-hari
setelahnya..
Esoknya... di hari ke-6 saya maju
ujian.. Saya sama sekali tidak kena marah. Pak dosen bertanya satu atau dua
kali ke saya, saya bisa njawab, walau tidak sempurna..
Esoknya lagi.. hari ke-7 saya
maju ujian... Pak dosen sama sekali tidak menanyakan satu pertanyaan pun. Beliau
langsung melihat saya, lalu bilang, “Ujianmu sudah selesai sama saya. Nanti
nilainya saya berikan ke sekretaris saya.” That’s it! That’s it! That’s it! Antiklimaks
bangettt.... Saya sempet bingung mau bilang apa. Akhirnya saya cuma bilang, “Terima
kasih dok.” Seorang residen yang kebetulan berdiri di samping saya sampai
merangkul saya dan bisikin saya, “Selamat dik ya. Itu artinya kamu sudah lulus.”
Air mata saya sontak merebak. Namun saya tahan sekuat tenaga. Saya agak-agak anti
kelihatan cengeng di hadapan orang lain yang saya belum kenal dekat. Salah satu
kelebihan golongan darah O (dari twitter golongan darah itu, hehe..) adalah
sangat pintar menyembunyikan perasaan dan tahan banting, semacam kuat
menanggung beban. Ini juga bener buat saya. Bahkan kadang saya heran kok bisa
saya sekuat itu menahan. Hohoo. ;p
Selesai ujian hari itu saya
langsung sms si mba memberi tahu saya sudah lulus ujiannya. Langsung beliau
membalas dengan mengajak saya menghabiskan waktu seharian itu untuk berenang en
nyalon. Assiiiiiiiikkkkkkkkkkkkkkk........ Indahnyaaaaa duniaaa...... Nikmat
Allaah.... Alhamdulillaah,, Alhamdulillaah... =D =D =D
Beberapa
hari kemudian, saya dibilangin temen saya kalau ada salah satu residen senior di
bagian itu yang bilang ke temen saya, “Itu temen kamu yang kemarin ujian sama dr.
X hebat banget ya. Kuat banget dia. Orang biasanya tahan ujian sama dr. X cuma
2-3 kali, habis itu mundur. Gak kuat. Temanmu itu sampai 5 kali lebih. Kuat
sekali itu.” Hmmhh.. saya hanya bisa bersyukur, dan terus bersyukur pada Allah
atas setiap takdir-Nya.. J
Kisah ini benar-benar menjadi semacam
titik transformasi buat saya. Sejak saat itu, saya selalu tahu langkah pertama
yang harus saya lakukan begitu menemukan masalah atau mungkin berupa sandungan
kecil dalam hidup: kembali pada Allah. Evaluasi, perbaiki hubungan dengan-Nya.
Lihatlah bagaimana kemudian Allah dan para malaikat-Nya memperbaiki hubungan
kita, masalah-masalah kita, dengan seisi dunia. Setiap kali kesedihan, masalah,
gundah gulana melanda, saya tahu apa yang pertama kali harus saya cari: Qur’an.
Saat saya bingung dan butuh nasihat, saya tahu kemana harus bertanya: Qur’an. Sungguh.
Ini pelajaran yang teramat sangat berharga untuk saya. Saya menyesali
kesalahan-kesalahan yang saya lakukan, jauhnya saya dari Allah, lalainya
saya... Tapi apa yang telah Allah takdirkan untuk terjadi di masa lalu, tidak pernah
saya sesali.. Karena selalu ada pelajaran berharga yang bisa saya ambil darinya..
^^
Alhamdulillaah...
............. ditemani alunan
lirik mendayu-dayu ‘Neoraseo’ (Because it’s You)-nya Gong Yoo...............
kosternyamansedunia,
JogjaIstimewa..
bersama seorang sahabat yang sedang commoncold :p
23022013.17.37 WIB.
“Every righteous person has a past, and every sinner has a future.”
3 comments:
lalalala ngekek aku bacanya. who is the residen? *halpalingpenting*
wkwk,residen yg mana bo? yg trakhir? yg orang riau itu..hehe
subhanallah,makasih banget ya kak tulisannya.entah karena sekarang lagi ada dimasa2 sulit juga,tp bener2 nyentuh bgt.
Ditunggu tulisan2 lainnya ya kak.
Sukses terus :) -irin-
Post a Comment