Saturday, February 23, 2013

Revealing the Past: One Way to Take A Lesson


Dengan nama Allah,, ^^

....sambil menikmati alunan lirik ‘Diam-Diam Suka’-nya Cherybelle... Ehem! ahseek :p

Sebelumnya, saya warning dulu, ini cerita cukup panjang.. jadi buat yang punya keperluan sangat mendesak, silakan dipenuhi dulu hajatnya daripada nanti terinterupsi pas lagi baca tulisan ini :p. Buat yang sudah terpenuhi hajatnya, here we go...


******************************
-Intro-

Empat malam yang lalu, di kos ternyaman sedunia. Saya bersama dua orang penting (penting dalam hidup saya maksudnya) lagi mbahas soalan yang pentingg bangett, yaitu: macem-macem kepribadian orang berdasarkan golongan darah –super penting >,<. Sahabat saya yang adalah salah satu follower semacam twitter golongan darah gitu membacakan tweet2an dari twitternya itu (mohon maaf sebelumnya kalo saya salah2 pake istilah2 twitter, karena eh karena saya gak punya twitter dan sampai sekarang belum kepikiran untuk bikin akun disitu.hoho). Pas lagi sampe di bahasan tentang masa lalu, di twitternya itu dibilang bahwa orang golongan darah O –yang mana adalah saya salah satunya– tidak pernah menyesali masa lalu, karena mereka menganggap bisa belajar banyak dari masa lalu. Saya langsung mikir, bener banget. Golongan darah B: mudah melupakan yang lalu, tapi sulit melupakan yang saat ini. Errr, padahal kan yang saat ini juga kelak menjadi masa lalu, jadi intinya orang B suka melupakan.  Peace ^^.. Golongan darah AB : sentimentil to the past.. Jadi sering keinget-inget gitu maksudnya. Satu lagi golongan darah A: mmm. sik. saya lupa. -,-“ hehe. Saya gak tahu menahu sih gimana cara twitternya itu bisa menyimpulkan seperti itu. Haha. Ada sih yang gak pas. Tapi banyak juga loh yang pas. Pas bener maksudnya. Yah buat seru2an aja. hehe.

Kembali lagi ke golongan darah O tadi. Tidak pernah menyesali masa lalu. Never regret the past. Ya ampun ini saya banget. Haha. Tenang-tenang, saya tidak hendak curcol. Tapi obrolan kami di malam itu mengingatkan saya pada satu kisah yang sudah lama sebenarnya ingin saya tuliskan, tapi entah kenapa kelupaan terus. Sebuah kisah di masa lalu *tsaaah* yang tidak pernah saya sesali terjadinya, bahkan saya bersyukur Allah telah menjadikan ini bagian dari masa lalu saya. Kisah ini adalah salah satu pengalaman hidup yang teramat berharga untuk saya pribadi. Ini kisah tentang saya, kesalahan-kesalahan saya, akibat dari kesalahan-kesalahan saya, dan bagaimana Allah mentarbiyah (baca: mendidik saya, pen.) untuk menyadari kesalahan-kesalahan itu hingga kemudian saya bisa berbenah diri untuk menjadi manusia yang lebih baik di mata Allah. Allah itu tahu setiap kelemahan kita, sehingga Ia tahu di sisi mana harus mengingatkan kita dan dengan cara apa. Saya tidak ingin membuka aib-aib dan kesalahan saya, karena bukankah Allah telah menutup setiap aib dan kesalahan kita? Saya hanya berharap, benar-benar berdoa, semoga siapa pun yang membaca dan mengetahui kisah ini bisa mengambil hikmah sebesar-besarnya.. mengambil kebaikan di dalamnya, supaya kita sama-sama bisa menjadi manusia yang lebih baik, untuk Allah.. dan saya juga bisa kecipratan pahalanya. hehe. aamiin. ^^

****************************************************************************
Kisah ini terjadi sekitar 2 tahunan yang lalu. Ya Allah, cepatnya waktu.. gak terasa udah 2 tahun. Waktu itu sekitar Februari s.d. April 2011. Saat itu saya masih berprofesi sebagai koas di RSUP terkenal di Jogja. Saya lagi menjalani salah satu stase besar. Informasi sedikit buat yang belum tahu, stase itu maksudnya bagian. Jadi misalnya bagian penyakit dalam, anak, bedah, saraf, dll. Stase besar itu salah satu dari 4 bagian ini: anak, penyakit dalam, bedah or obsgyn –kandungan kebidanan). Oke, back to the story. Akhir Februari itu adalah jadwal saya menjalani ujian di stase tersebut. Stase nya apa, gak usah dibahas. Hehe. Ujiannya adalah tanya jawab lisan langsung duet (duet apa duel?) dengan dokter spesialis. Nah, yang menariknya, dokter spesialis pengujinya ditentukan melalui proses undian. Singkat cerita, sampailah di pengumumam dosen penguji, dan ternyata dosen penguji saya adalah dokter spesialis –yg bisa dibilang– paling mumpuni di bagian itu. Pas tau siapa dosen penguji saya, saya langsung siap-siap cari kasus dan belajar optimal dah pokoknya. Biar cepet selesai ujiannya, dapet nilai bagus, pikir saya waktu itu.

Sebelum lanjut cerita ini, saya mau mundurin lagi sejenak ke sekitar 10-12 bulan sebelumnya. Awal saya masuk koas..

Dulu, saya termasuk orang yang cukup mudah terbawa lingkungan. Lingkungan yang kondusif ke arah kebaikan akan cepat membuat saya menjadi orang yang baik, lingkungan yang gak mendukung akan membuat saya rentan menjauh dari kebaikan. Mungkin karena saat itu saya belum punya perisai diri yang cukup kuat (baca: masih labil), sehingga mudah sekali terbawa arus lingkungan. Sejak awal masuk koas, saya udah merasa cukup tertekan dan stress dengan lingkungan klinis yang, menurut saya saat itu, sangat men’dewa-dewa’kan manusia (baca: senior dan dosen). Ada yang pernah nonton drama Korea ‘Brain’? Kalo udah, ya mungkin kira-kira seperti itulah kehidupan koas-residen junior (residen: dokter umum yang lagi studi spesialis)-residen senior-dokter spesialis. Kalo yang belum nonton, aduh nonton deh. Highly recommended ituhhhh. Balik lagi ke awal koas saya. Jadi memang tidak berlebihan saya rasa ketika ada celetukan-celetukan macam: KOAS –Korps Orang Aneh Serbasalah, atau KOAS=PROFESOR –profesi faling ngisor (=profesi paling terbawah. Udah paling, ter- lagi, hiperbola kan gue jadinya-,-“).

Pas koas itu, saya merasa benar-benar harus berbuat yang terbaik buat senior or dosen. Harus patuh sama maunya mereka. Harus nurutin pengennya mereka. Jangan sampai bikin mereka gak seneng sama saya. Kondisi ini sesungguhnya benar-benar bikin saya stress. Sangat. Untungnya, teman-teman sekelompok saya pas koas orangnya asik-asik, seneng main, toleran, asik lah pokoknya. Itu bisa sedikit meredam stress nya saya saat itu. Biarpun begitu, hidup saya tetap gak tenang. Hidup saya jadinya hanya saya isi dengan rutinitas-rutinitas koas aja. Ke RS (jaga pagi or siang or malem, nyari kasus, disuruh-suruh residen, sering kena omel), pulang kos (ngerjain tugas or nyari bahan presentasi or ngerjain laporan kasus), balik RS lagi.. Begituuuu terus setiap hari... Loh trus kenapa? Bukannya bener ya harusnya begitu?

Hmm.. lantas apa kabar dengan Sholat saya? Puasa sunnah saya? Ngaji saya? Tilawah quran saya? Sholat dluha saya? Sholat malam saya? Sholat rawatib saya? Bagaimana juga dengan hafalan quran saya? Zikir harian? Datang kajian?

Jawabannya: sejak awal saya koas hingga 10 bulan kemudian.. semua amalan yaumiah (amalan harian) saya itu terus mengalami penurunan, hingga.. puncaknya adalah sekitar bulan Februari 2011 itu.. huffhh.. ketika itu amalan saya benar-benar hanya tersisa Sholat wajib 5 waktu. Bahkan itupun bukanlah sholat terbaik yang saya usahakan. Sholat wajib saya saat itu hanya seperti sekadar menggugurkan kewajiban, tidak memedulikan tepat waktu/ tidak, tidak peduli jama’ah/ tidak, dengan level kekhusyukan yang sangat memprihatinkan. Sholat sunnah, puasa sunnah, tilawah, apalagi kajian atau menambah hafalan quran.. ya Allah.. semua itu semakin jauh dari saya saat itu. Saya saat itu lebih patuh sama panggilan dosen atau residen dibandingkan oleh panggilan Allah. Saya lebih khawatir kalau dosen atau residen nyariin saya, dibanding kalau Allah yang nyari saya. Astaghfirullaah.. astaghfirullaah.. Padahal, saya sadari kemudian, inilah yang menjadi sumber masalah sebenar-benarnya masalah bagi saya. Menomorduakan Allah. Benar-benar memprihatinkan. Kondisi ruhani saya terjun bebas alias merosot drastis dibandingkan sebelum koas. Astaghfirullaah..

Hingga tibalah saat ujian pas bulan Februari itu.. Saya maju pertama kali sama dosennya, sudah siap kasus, sudah merasa PeDe, mudah-mudahan bisa segera selesai.. Hasilnya:

Day 1 maju ujian: Saya langsung kena marah, harus ngulang besoknya
Day 2: Kena marah lagi....
*Mulai stresssss*

Day 3: Kena maraahhh...
*stresss abisss....* sampai harus tertunda untuk ujian lagi setelah stase berikutnya.. Yaitu bulan April 2011... di fase ini, saya mulai bertanya sama diri saya sendiri, Kenapa? Apa yang salah? Saya sudah belajar. Tapi gak bisa juga menjawab pertanyaan dosen saya. Apa karena gugup? Atau takut? Kenapaaa? Kenaaapaaa kok saya ujian gak selesai-selesaiiiii???

Day 4 (maju ujian ke-4 kalinya, di bulan April 2011): Kenaaa maraaahhh
*Saya depresi. Literally. Saya tes kuesioner depresi yang saya dapat pas stase saraf, hasilnya: I was moderately depressed. -,-‘* Makan gak selera. Padahal saya orang yang tidak pernah tidak selera makan. Tidur tidak nyenyak. Padahal saya orang yang paling mudah tidur, sampai pernah bapak saya suatu kali bilang, “Nadia kok gampang banget tidurnya Ya, kayak orang gak banyak pikiran.” Iya, memang seperti itulah saya aslinya, gampang tidur. Kapanpun, dimanapun, sedang melakukan apapun, yang saya pikirkan hanya ujian, ujian, ujian. Detik demi detik saya lalui tanpa bisa memikirkan hal selain ujian. Ya Allah,, benar-benar menyedihkan kondisi saya saat itu..

Day 5 (maju ujian ke-5): kenaaaa maraaahhhh
Nah. Di sinilah. Inilah masa kritis saya. Saya benar-benar stuck. Saya berkali-kali mengulang tanya ke diri saya sendiri, Kenapa? Kenapa? Apa yang salah?

Sampai tiba-tiba, saya seperti tersadar. Seperti ada suara-suara dalam benak saya, mengatakan: Kamu butuh nasihat. Mintalah nasihat. Mintalah nasihat. Dan seperti sudah dalam satu komando, sepulang ujian hari itu tangan saya langsung mencari HP dan meng-sms seseorang.. saya minta ketemu, hanya bilang saya sedang butuh nasihat.. langsung dibalas... beliau menyanggupi kami bertemu di kampus...

Bergegaslah saya ke kampus.. orang yang saya temui ini adalah salah seorang senior saya pas kuliah. Seorang muslimah sejati. Seorang yang nasihatnya selalu menyentuh ke hati saya. Seorang yang senantiasa saya hormati, dulu, sekarang, dan sampai kapan pun.. Seorang yang saya cintai. Saya cintai karena Allah. Karena agamanya, karena keistiqomahannya, karena nasihat-nasihatnya, karena cintanya pada Allah dan pada apapun yang mendatangkan cinta Allah padanya. Bahkan menulis bagian ini pun tak urung air mata saya kembali merebak. Mengingat kejadian itu.. di sore itu.. bersamanya.. di waktu-waktu kritis saya, beliaulah orang yang Allah pilih untuk menasihati saya.. Semoga Allah senantiasa memuliakan hidupnya di dunia ini, dan kelak di akhirat.. Aamiin..

Setelah bertemu, langsung saya menceritakan semuanya.. tentang ujian saya yang gak selesai-selesai.. tentang sedihnya saya belum bisa lulus ujian 5x.. tentang depresinya saya.. tentang koas.. tentang degradasi amalan-amalan saya.. semuanya.. semuanya.. menangis saya di depan beliau. Padahal tidak pernah sekalipun saya menangis di depan dosen penguji saya meskipun berkali-kali kena marah di hadapan teman koas yang lain, bahkan residen.. Tapi di depan mba saya ini, saya menangis sejadi-jadinya... hingga sampailah di waktu beliau yang memberikan nasihat. Saat saya selesai bercerita itu memang persis selesai azan asar, beliau hanya bertanya, “Lagi sholat dek?” “Iya,” saya bilang. “Sholat dulu yuk,” ajak beliau.

Sholat asar lah kami, berjama’ah. Di musholla S2 kampus.. beliau mengimami.. sholat yang tenang, menyenangkan... selesai sholat, beliau tanya ke saya, “Bawa qur’an gak dek?”. Saya jawab, “Bawa.” Beliau lalu bilang, “Buka surat At-Taubah ayat 24. Baca sampai selesai.”

Saya belum tahu sama sekali waktu itu At-Taubah ayat 24 tentang apa, isi suratnya, artinya.. belum tahu. Tapi saya nurut.. Saya buka qur’an.. Cari At-Taubah, surat ke-9.. ayat 24.. seperti inilah ayatnya:

24. Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Normalnya nih, dalam kondisi normal seperti sekarang misalnya, saya membaca satu ayat ini beserta artinya tidak lebih dari 35 detik. Tapi saat itu, di hadapan si mba, di mushola S2 Fakultas, satu ayat beserta artinya itu saya baca sekitar 5-6 menit. Satu ayat. Berkali-kali air mata saya meleleh, pandangan saya mengabur, perut saya mules tidak karuan, dada saya penuh sesak, sakit minta ampun seolah-olah siap meledak. Inilah jawabannya. Inilah jawaban dari pertanyaan saya.. Kenapa? Apa yang salah? Apa yang salah? Ayat inilah jawabannya. Karena saya lebih mencintai koas saya dibandingkan Allah dan Rasul-Nya. Saya lebih cinta pada nilai dan senior dan dosen dibanding Allah dan Rasulnya. Saya lebih memprioritaskan anggapan dosen dan senior ke saya dibanding anggapan Allah ke saya. Astaghfirullaah, astaghfirullaah.. Berkali-kali saya sesenggukan di hadapan si mba. Gak kuat saya rasanya membaca huruf demi huruf dalam ayat itu hingga sempurna sampai akhir ayat. Namun, semakin saya terlihat kepayahan menyelesaikan ayat itu, beliau justru semakin kuat mendorong saya, “Selesaikan. Selesaikan satu ayat.” Sampailah di akhir ayat itu,, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. Ya Allah, inilah keputusan Allah. Inilah waktu yang saya disuruh menunggu. Sebagai akibat dari kesalahan-kesalahan saya, dari kelalaian-kelalaian saya pada perintah Allah.. pada teladan Rasul-Nya.. kelalaian saya berjuang di jalan-Nya.. Kesalahan, kelalaian saya kepada Allah membuat ujian saya tertangguhkan, membuat  saya tidak lulus-lulus ujian, membuat saya justru terlihat semakin buruk di hadapan dosen dan teman-teman saya..

Setelah waktu yang lama.. 5 atau 6 menit.. selesai saya membaca ayat itu, beliau berpesan. “Dik, adik tadi minta nasihat. Nasihat mba, sebelum adik mengevaluasi diri adik dengan dosen atau bahan ujian atau lainnya, evaluasi terlebih dahulu hubungan adik dengan Allah. Lalu bila adik sudah tahu ada yang salah, perbaiki. Perbaiki segera hubungan adik dengan Allah. Itu saja. Itu saja yang saat ini adik harus lakukan. Perbaiki hubungan dengan Allah. Ikhlas pada setiap takdir-Nya. Adik tidak lulus-lulus ujian ini bukan tanpa sepengetahuan Allah. Allah tahu, dan Allah mengizinkan itu terjadi. Itu takdir-Nya. Ikhlaskan menerima takdir itu. Perbaiki hubungan adik dengan Allah. Setiap peristiwa dalam hidup kita adalah tarbiyah (pendidikan, pen.) dari Allah. Ketika hubungan adik dengan Allah sudah baik, lihatlah bagaimana Allah yang memperbaiki hubungan adik dengan seisi dunia ini.”

Sepulang dari kampus sore itu, saya langsung berbenah diri. Saya kuliti hati saya lapis demi lapis, mengevaluasi setiap simpul hubungan saya dengan Allah. Menyungkur saya bersujud penuh haru atas satu anugerah yang Allah berikan di sore itu. Nasihat yang baik. Nasihat dari seorang saudari yang shalilah. Semoga Allah tidak menggolongkan saya ke dalam golongan orang-orang yang fasik seperti termaktub dalam akhir ayat 24 surat at-Taubah itu. Dan di malam itulah pertama kalinya setelah sekian lama (hampir 2 bulan) saya bisa tidur dengan nyenyak, setelah mengikhlaskan setiap takdir yang kelak akan Allah berlakukan pada saya esok harinya dan hari-hari setelahnya..

Esoknya... di hari ke-6 saya maju ujian.. Saya sama sekali tidak kena marah. Pak dosen bertanya satu atau dua kali ke saya, saya bisa njawab, walau tidak sempurna..

Esoknya lagi.. hari ke-7 saya maju ujian... Pak dosen sama sekali tidak menanyakan satu pertanyaan pun. Beliau langsung melihat saya, lalu bilang, “Ujianmu sudah selesai sama saya. Nanti nilainya saya berikan ke sekretaris saya.” That’s it! That’s it! That’s it! Antiklimaks bangettt.... Saya sempet bingung mau bilang apa. Akhirnya saya cuma bilang, “Terima kasih dok.” Seorang residen yang kebetulan berdiri di samping saya sampai merangkul saya dan bisikin saya, “Selamat dik ya. Itu artinya kamu sudah lulus.” Air mata saya sontak merebak. Namun saya tahan sekuat tenaga. Saya agak-agak anti kelihatan cengeng di hadapan orang lain yang saya belum kenal dekat. Salah satu kelebihan golongan darah O (dari twitter golongan darah itu, hehe..) adalah sangat pintar menyembunyikan perasaan dan tahan banting, semacam kuat menanggung beban. Ini juga bener buat saya. Bahkan kadang saya heran kok bisa saya sekuat itu menahan. Hohoo. ;p

Selesai ujian hari itu saya langsung sms si mba memberi tahu saya sudah lulus ujiannya. Langsung beliau membalas dengan mengajak saya menghabiskan waktu seharian itu untuk berenang en nyalon. Assiiiiiiiikkkkkkkkkkkkkkk........ Indahnyaaaaa duniaaa...... Nikmat Allaah.... Alhamdulillaah,, Alhamdulillaah... =D =D =D

Beberapa hari kemudian, saya dibilangin temen saya kalau ada salah satu residen senior di bagian itu yang bilang ke temen saya, “Itu temen kamu yang kemarin ujian sama dr. X hebat banget ya. Kuat banget dia. Orang biasanya tahan ujian sama dr. X cuma 2-3 kali, habis itu mundur. Gak kuat. Temanmu itu sampai 5 kali lebih. Kuat sekali itu.” Hmmhh.. saya hanya bisa bersyukur, dan terus bersyukur pada Allah atas setiap takdir-Nya.. J

Kisah ini benar-benar menjadi semacam titik transformasi buat saya. Sejak saat itu, saya selalu tahu langkah pertama yang harus saya lakukan begitu menemukan masalah atau mungkin berupa sandungan kecil dalam hidup: kembali pada Allah. Evaluasi, perbaiki hubungan dengan-Nya. Lihatlah bagaimana kemudian Allah dan para malaikat-Nya memperbaiki hubungan kita, masalah-masalah kita, dengan seisi dunia. Setiap kali kesedihan, masalah, gundah gulana melanda, saya tahu apa yang pertama kali harus saya cari: Qur’an. Saat saya bingung dan butuh nasihat, saya tahu kemana harus bertanya: Qur’an. Sungguh. Ini pelajaran yang teramat sangat berharga untuk saya. Saya menyesali kesalahan-kesalahan yang saya lakukan, jauhnya saya dari Allah, lalainya saya... Tapi apa yang telah Allah takdirkan untuk terjadi di masa lalu, tidak pernah saya sesali.. Karena selalu ada pelajaran berharga yang bisa saya ambil darinya.. ^^

Alhamdulillaah...

............. ditemani alunan lirik mendayu-dayu ‘Neoraseo’ (Because it’s You)-nya Gong Yoo...............

kosternyamansedunia, JogjaIstimewa..
bersama seorang sahabat yang sedang commoncold :p
23022013.17.37 WIB.

“Every righteous person has a past, and every sinner has a future.” 

Sunday, February 17, 2013

Saying I Love You

Bismillaah..

dari Anas Ra, sesungguhnya seseorang duduk di hadapan Nabi saw, lalu ketika ada orang lain lewat di situ, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku mencintai orang itu.” Beliau bertanya, “Apakah kamu sudah memberitahukan kepadanya?” Ia menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Beritahukan kepadanya.” Kemudian ia menemui orang itu dan berkata, “Sesungguhnya aku mencintai kamu karena Allah.” Orang itu menjawab, “Semoga kamu dicintai oleh Tuhan yang telah membuat kamu mencintaiku karena-Nya.” (HR. Abu daud dengan sanad yang shahih)

Tadi sore. Saya lagi jalan-jalan sama seorang sahabat.. nemenin nyari kaos. Tiba-tiba sam**ng saya berbunyi, menyenandungkan suara merdu Gong Yoo nyanyiin neoraseo (OST. Big –pen). Telepon dari bapak atau ibu, pikir saya. Kok tau? Karena saya memang selalu nyetel ring tone yang berbeda untuk ibu dan bapak, et causa: supaya saya tahu kapan harus segera mengangkat telepon atau kapan bisa menunda2. Heheh. So, sama seperti yang saya lakukan setiap kali mendengar neoraseo, sore tadi saya pun bersegera merogoh-rogoh HP di tas.. Layar samsu** saya menampilkan nama terang: Bapakku.

Lalu, terjadilah dialog berikut:

Saya (S) : Iya pak?
Ibu (I) : Nadia lagi dimana nak? (ternyata ibu saya yang telepon, bukan bapak)
S : Lagi jalan-jalan, hehe.. nemenin Lia (bukan nama sebenarnya) nyari kaos.. Ada apa bu?
I : Oh.. lagi jalan-jalan ya (suaranya bindeng gitu, tadi pagi memang ibu bilang lagi batuk-pilek). Gapapa, nak. Ibu lagi heran aja, kenapa kok nadia berapa hari ini gak bales bbm ibu. Ibu khawatir, takutnya nadia lagi marah sama ibu. Hehe..
S : (Kaget bukan main) Eh? Enggaaa bu.. (sempet bingung mau ngomong apa) Nadia kayaknya lagi keasikan maen sama temen-temen emang dari kemarin, jadi pas ibu bbm gak ngeh.. Maap bu.. (udahh ngerasa bersalaaaaaaahh banget rasanya, jangan-jangan suara ibu bindeng karena sempet nangiss..ya Allah,,)
I : Oh hehe. gtu ya nak. Iya memang kan udah mau pisah ya sama temen-temen. Ibu tadi bilang sama bapak, kenapa kok nadia ibu hubungin pake HP ibu gak respon, ibu coba pake HP bapak. Siapa tau pake HP bapak respon. Hehe..
S : (dalem hati, astaghfirullaahal ‘azhiim) Maap bu.. nadia gak ngeh.. gak ada apa-apa bu.. Cuma nadia lagi maen-maen terus emang sama temen-temen dari kemarin.. maap bu..
I : Iya nak, hehe. Ini bapak yaa..
Bapak(B): Halo?
S : Iya pak.. hehe.
B : Jangan lupa diurus2 semua dokumennya ya Ya ,sebelum pulang ke Tangerang, supaya gak ada yang kurang nanti pas udah disini..
S : Iya pak.. Ibu mana pak? Mau ngomong lagi..
B : Sebentar ni..
I : Iya nak?
S : (lagi-lagi Cuma bisa bilang begini..) Maap yaa bu.. nadia gak ngeh..
I : Iya nak, hehe. Biasa, ibu kerepotan emang yaa.
S : (hikss. makin sedih) Engga kok bu..
I : Iya nak,, baik-baik ya.. assalamu’alaikum
S : Iya bu.. Wa’alaikumsalam warahmatullah..

  Selesai percakapan itu, perasaan saya jadi campur aduk. Ngerasa bersalaaaahh banget sama ibu. Ya Allah, saya sama sekali gak ada niat untuk nyuekin ibu dan bahkan gak kepikiran kalo bbm yang gak segera bales itu ternyata bikin ibu kepikiran yang engga-engga. Tadi pagi ibu sempet telepon, tapi pas ibu telepon saya persis habis bangun tidur. Jadi cuma jawab sekenanya aja. Padahal biasanya saya kalo teleponan sama beliau bisa 20-30menit non stop.. ada aja yang diomongin. Semua. dari yang penting sampe yang gak penting.. dari internship sampe kucing. di tengah-tengah perasaan campur aduk itu, terngiang di telinga saya hadits di atas..

Ya Allah, saya sempet takut kalo saya termasuk dalam golongan anak yang bikin sedih hati orang tua. Meskipun gak saya niati demikian, tapi saya pernah denger dari satu kajian bahwa niat itu tidak mengubah hukum suatu amal. Niat saya yang tidak mau bikin sakit hati ibu, gak mengubah hukum bahwa membuat sakit hati ibu itu hukumnya dosa.. ya Allah, astaghfirullaah.. astaghfirullaah.. hikss

Padahal, saya tuh cinta sepenuh jiwa sama bapak sama ibu. Merekalah manusia terpenting dalam hidup saya saat ini –mengingat saya belum menikah. Selama bareng-bareng sama temen-temen pun, saya sering banget ngomongin bapak dan ibu. Nyebut-nyebut nama beliau. Saya gak peduli temen-temen saya bosen apa engga denger cerita saya nyebut-nyebut bapak-ibu terus. Bukankah salah satu bukti cinta adalah seringnya kita menyebut nama dia yang kita cintai? Begitupun pas saya lagi bareng sahabat-sahabat saya beberapa hari ini, saya sering banget ceritain ke mereka tentang ibu-bapak. Cerita yang lama maupun yang baru.. Cerita tentang mereka bagi saya gak pernah basi. hehe. Se gak pernah basi nya cinta saya ke mereka. Ceilee.. ehem. Kalo saya bisa beli dunia dan seisinya, pengen banget saya kasih ke bapak-ibu.. semuanya. Meskipun begitu, tetep aja pasti ibu-bapak lebih cintanya ke saya dibanding saya ke mereka. dan apapun yang saya lakukan, gak akan pernah bisa membalas setiap cinta dan pengorbanan mereka untuk saya.

Saya pun tersadar, inilah rupanya makna dari hadits itu. Bahwa tak ada gunanya cinta ketika tidak dinyatakan. Itulah mengapa Rasulullaah teladan alam memerintahkan sahabat dalam hadits tersebut untuk menyatakan cintanya pada saudaranya (yang mahram). Karena manusia tak punya ilmu pada hal yang ghaib. Isi hati kita termasuk perkara ghaib. ehem. Manusia hanya mengetahui apa yang tersurat, yang tampak secara lahir. Sungguh mulia ajaran Islam, tuntunan Rasulullaah. Allahumma sholli ‘alaa  sayyidinaa muhammad, wa ‘alaa alii sayyidinaa muhammad. ^^

Saya pun kemudian kirim bbm ke ibu:

“Hehe..maap yaa bu.. jadi bikin ibu mikir yang engga engga.. Gak ada apa2 lah bu..hehe.Nadia kan juga sayang ma ibu ma bapak, masak musuhan..hehe..”

 dan beliau mbales:

“hehe. ibu jg jadi geli soalnya ibu khawatir takut kenapa2. syukur ngga apa2 ibu jg ingat kemaren teman SMP pada janji mau ketemu ibu dan mau ke rumah, nanti gantian reuninya.”

Alhamdulillah.. sepenggal doa rabithah saya ucapkan kepada Allah, sambil membayangkan wajah ibu..bapak.. dan setiap cinta yang Allah titipkan di hati. ^^



JogjaIstimewa, RumahSahabat..
17022013. 00.46 WIB

Thursday, February 7, 2013

NPWP... Buatku Tersenyum

Bismillaah...

Sekitar 1 bulan 17 hari yang lalu, 21 Desember 2012

Pagi itu hujan agak deras. Saya sedang di kos siap-siap mau berangkat ke Bandung, acara walimahan salah satu sahabat dekat. Koper siap. Semua barang siap. Rencana naik Lodaya jam 09.30 pagi dari Stasiun Tugu. Saya lirik jam tangan kesayangan yang masih terus setia saya pakai meskipun kacanya udah fissure alias retak. Pasalnya, tu jam tangan dari Bapak. Ehem.. :) Waktu itu masih sekitar jam 8 lebih 10 menit. Oke, semua siap, tinggal telepon taksi, pikir saya semangat. Saya pencet lah nomer telepon taksi terkenal di jogja. Ternyata armadanya masih penuh. Taksi kedua.. Penuh juga.. Hmm. Mulai mikir.. Mm. Coba googling nomer taksi yang lain deh... Singkat cerita, sudah 5 atau 6 armada taksi yang saya hubungi, semuanya penuh. Mungkin karena saat itu hujan memang agak deras, jadi demand taksi meningkat tajam. Akhirnya saya pun me-whatssa* teman saya minta tolong dijemput. Teman saya masih nungguin mamanya.. Belum pasti jam berapa berangkat ke Tugu. Time went by...

Akhirnya jam 9an teman saya me-whats*ap, 'Aku berangkat sekarang.' Sekitar jam 09.25 sampailah kami di depan stasiun Tugu. Udah mepet bangett. Kami langsung ngacir lari takut ketinggalan kereta. Lodaya udah nangkring sejak sekitar 10-15 menitan yang lalu, siap tancap gas. Teman saya sambil lari-lari di samping saya bilang, "Siapin KTPmu." JEDERRRR!!!!!! Saya sontak panik. Buka tas, rogoh-rogoh isinya... gak ada! Dompet yang isi KTP dan ID yang lain lupa gak saya bawa. Innalillaahi... Piye ki?!

Lalu saya buka dompet tempat saya simpan uang dan atm-atm. Ternyata disitu terselip selembar kartu NPWP. Saya tanya temen saya (masih sambil lari-lari), 'NPWP boleh gak ya?' Temen saya bilang, 'Coba aja.' Persis saat itu kami sampai di pintu masuk peron. Serta merta saya tunjukkan NPWP saya. Pak petugas pintu peron ngecek sebentar dengan tiket kami, lalu menyilakan kami masuk... To be continued....


Sekitar 6 bulan sebelumnya... di rumah saya tercinta, Tangerang...

Bapak: "Buat lah Ya, NPWPnya.. penting itu. Buat kedepannya nanti." 
FYI. Bapak memang selalu memanggil saya 'Ya', dari Nadia (na-di-ya), diambil ujungnya.
Saya: "Iya nanti-nanti lah Pak.."
Bapak: "Sekarang aja lah, mumpung Nadia di Tangerang. Bikin lah sekarang."
FY another I....bapak saya seorang melankolis koleris. Saya seorang plegmatis. Yah, secara teoritis maupun empiris, saya mesti yang ujung-ujungnya nurut sama maunya bapak. 

Akhirnya, pergilah saya ke kantor pajak Tangerang buat bikin NPWP. Hari itu pun NPWP saya jadi. Bapak puas. "Simpan baik-baik Ya, penting ini." Begitu pesan bapak berulang kali. Saya manggut-manggut. Ya masak mau geleng-geleng -,-

Saya punya kebiasaan menyimpan kartu-kartu identitas dan STNK di tempat yang berbeda dengan dompet uang. Alasannya simpel: Karena tempat kartu di dompet saya gak cukup banyak untuk menampung semua ID card saya. Hehe. Jadi, tempat kartu di dompet cuma saya pakai untuk menyimpan ATM dan.... NPWP. Kenapa NPWP? Karena saya menganggap NPWP bukan termasuk ID card, jadi gak saya simpan bareng ID card yang lain. Errr... Yah harap maklum. Pembaca dilarang protes.



Kembali ke 1 bulan 17 hari yang lalu di Stasiun Tugu.. Subhanallaah.. Hari itu adalah pertama kali saya menggunakan NPWP saya, dan persis seperti yang bapak selalu bilang.. "Penting itu, Ya.." Memang benar-benar penting keberadaan NPWP saya waktu itu, karena saya sama sekali gak bawa kartu identitas yang lain dan waktunya udah bener-bener mepet bangett. Gak kebayang kalau harus ketinggalan kereta gara-gara gak bisa nunjukin kartu identitas ke petugas peron. Fiuhh...

Persis saat kami sampai di tempat duduk kami.. di gerbong pertama, Lodaya mulai bergerak menuju Bandung. Saat itu wajah bapak terbayang di pelupuk mata saya... dan saya tersenyum karenanya.. :) :)

Alhamdulillaah..

JogjaIstimewa, masih di kamar kos.. 
07022013 jam 2238 wib