Bismillaah..
Dan siapakah yang lebih
baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah,
sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus ?
Dan Allah
mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya. ~Surah An-Nisaa’ (4): 125
Nabi
Ibrahim ‘alaihissalam adalah salah satu dari 5 orang rasul ulul azmi yang
diberikan oleh Allah kemuliaan dan derajat yang tinggi melalui ujian-ujian yang
amat berat. Sebagian kisah hidup kekasih Allah ini termuat dalam berbagai surat
dalam Quran. Bahkan Allah Ta’ala mengabadikan nama beliau sebagai nama salah
satu surat dalam Quran. Membaca kisah beliau memberikan keteladanan bagi kita
umat Rasulullaah Muhammad Saw. Saya mencoba menjabarkan beberapa butir hikmah
yang saya coba kais dari kisah kekasih Allah ini.
1. Mensyukuri anugerah akal
Manusia diamanahi oleh Allah untuk menjadi
khalifah di bumi. Untuk memikul amanah yang berat ini, Allah membekali setiap
manusia dengan akal. Akal membuat manusia berpikir tentang segala proses
penciptaan makhluk, me’maksa’nya mengenal Tuhannya. Akal yang cemerlang akan
mengantarkan manusia pada fakta tunggal: bahwa alam semesta ini diciptakan oleh
Allah, Tuhan Yang Esa. Bagaimana tidak? Coba kita renungkan bagaimana pepohonan
dapat tumbuh, padahal sebelumnya ia tiada? Bagaimana hewan-hewan di darat dan
laut dapat hidup, tumbuh, berkembang biak dengan setiap keunikannya? Bagaimana
laut yang begitu luas, gunung yang sangat tinggi, diciptakan? Bagaimana pula
bintang-bintang di langit tidak berjatuhan saat kita memandanginya di malam
hari? Bagaimana terjadinya pergantian siang dan malam? Bagaimana matahari bisa
tetap terbit dari timur dan tenggelam di barat setiap harinya tanpa pernah salah satu hari pun? Dan tubuh kita, manusia, bagaimana pula ia diciptakan? Setiap detakan jantung, hantaran impuls sepanjang serabut saraf, setiap getaran yang masuk ke telinga hingga kita dapat mendengar suara orang-orang terkasih, setiap cahaya yang diterima oleh mata hingga kita dapat melihat keindahan dunia, setiap makanan yang masuk melalui mulut, udara yang masuk ke dalam paru, tangan dan kaki yang dapat bergerak sesuai yang kita inginkan... mungkinkah semuanya terjadi tanpa penciptaan, tanpa ada yang menciptakan? Mungkinkah setiap keajaiban, keteraturan di alam semesta ini terjadi dengan sendirinya? Ataukah semuanya hanya hasil dari proses adaptasi dan seleksi alam yang digaung-gaungkan oleh Darwin dan setiap manusia pengikut teori konyolnya? Akal yang cemerlang hanya akan memberi satu pilihan jawaban: Tidaklah mungkin semua ini melainkan ada penciptanya, dan tidak mungkin keteraturan ini diciptakan oleh lebih dari satu pencipta.
tetap terbit dari timur dan tenggelam di barat setiap harinya tanpa pernah salah satu hari pun? Dan tubuh kita, manusia, bagaimana pula ia diciptakan? Setiap detakan jantung, hantaran impuls sepanjang serabut saraf, setiap getaran yang masuk ke telinga hingga kita dapat mendengar suara orang-orang terkasih, setiap cahaya yang diterima oleh mata hingga kita dapat melihat keindahan dunia, setiap makanan yang masuk melalui mulut, udara yang masuk ke dalam paru, tangan dan kaki yang dapat bergerak sesuai yang kita inginkan... mungkinkah semuanya terjadi tanpa penciptaan, tanpa ada yang menciptakan? Mungkinkah setiap keajaiban, keteraturan di alam semesta ini terjadi dengan sendirinya? Ataukah semuanya hanya hasil dari proses adaptasi dan seleksi alam yang digaung-gaungkan oleh Darwin dan setiap manusia pengikut teori konyolnya? Akal yang cemerlang hanya akan memberi satu pilihan jawaban: Tidaklah mungkin semua ini melainkan ada penciptanya, dan tidak mungkin keteraturan ini diciptakan oleh lebih dari satu pencipta.
Ibrahim ‘alaihissalam, semenjak kecilnya
telah mempergunakan akalnya untuk mengenal Tuhannya. Beliau terlahir dari
keluarga terpandang di masyarakatnya kala itu, seniman-seniman pembuat patung
dan berhala. Masyarakat di zamannya terbagi ke dalam 3 kelompok: penyembah
berhala, penyembah bintang dan bulan, serta penyembah raja dan penguasa. Terlahir
dalam kondisi masyarakat yang diliputi oleh pendustaan terhadap akal sehat
seperti itu, Allah Ta’ala tetap menghidupkan hati dan akal beliau serta
meliputinya dengan hikmah yang besar.
Sejak
kecil, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah menolak penuhanan terhadap patung dan
berhala yang dibuat oleh keluarganya sendiri. Ia bahkan sering bermain-main
dengan patung-patung tersebut dan saat diminta ayahnya menjajakan patung-patung
itu keliling kota, ia mengejek patung yang dijajakannya kepada para pembeli. Beliau
kemudian memulai pencariannya terhadap Tuhan. Karena masyarakat yang ada di
masa itu sebagian besarnya adalah penyembah bintang dan bulan, maka mulailah
beliau mengamati bintang dan bulan di malam hari untuk mencari kebenaran.
Ketika
malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah
Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya
tidak suka kepada yang tenggelam." Kemudian tatkala dia melihat bulan
terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu
terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat." Kemudian tatkala ia
melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih
besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan. ~Surah Al-An’am (6) : 76-79
Hausnya
akal Nabi Ibrahim ‘alaihissalam terhadap kebenaran membawanya kepada eksperimen
untuk memantapkan hatinya bahwa Allah adalah Tuhan Maha Pencipta, satu-satunya
Sesembahan bagi manusia. ‘Eksperimen’ ini dimuat dalam Surah Al-Baqarah (2):
260. Sebagai hamba Allah yang dianugerahi akal sekaligus umat Nabi Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wasallam yang bertauhid sesuai ketauhidan Ibrahim
‘alaihissalam, kita harus senantiasa bersyukur pada Allah. Rasa syukur kita
terhadap anugerah akal yang Allah berikan adalah dengan selalu mempergunakan
akal kita dalam merenungkan penciptaan Allah di alam semesta ini, sambil
senantiasa berdoa pada-Nya agar menyelimuti akal kita dengan hidayah iman dan
islam sehingga terhindarlah kita dari kesesatan akal dan kesombongan.
2. Memulai dakwah dari orang-orang terdekat dengan
cara yang baik
Setelah meyakini kebenaran Allah Ta’ala
sebagai Tuhan Yang Esa, Ibrahim ‘alaihissalam bergegas mendatangi ayahnya
dengan tujuan untuk menyampaikan kebenaran yang telah beliau terima dari Allah
kepada ayahnya. Belau datang kepada ayahnya dengan adab yang luhur sebagaimana
adab anak yang berbakti pada orang tuanya. Beliau menyampaikan pada Azar,
ayahnya, bahwa Allah telah mengutusnya menjadi nabi dan rasul dan memberikan
ilmu padanya yang tiada diberikan pada ayahnya. Beliau menyampaikan bahwa
penyembahan terhadap berhala adalah sebuah kesesatan dari syaitan dan bahwa
syaitan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Beliau pun mengajak ayahnya untuk
meninggalkan berhala dan beralih untuk menyembah Allah Ta’ala saja. (Dalam Surah Maryam (19): 42-45)
Mendengar penjelasan dan ajakan Nabi
Ibrahim ‘alaihissalam, Azar menjadi sangat marah dan menolak mentah-mentah
seruan beliau untuk mengesakan Allah saja. Beliau bahkan dicaci dengan
kata-kata kasar dan diusir oleh ayahnya dari rumah. Allah telah membekali
Ibrahim ‘alaihissalam dengan hati yang lemah lembut, hingga beliau tetap
berakhlak baik kepada ayahnya meskipun telah diperlakukan dengan begitu kasar (Dalam Surah Maryam (19): 46). Beliau bahkan berdoa kepada Allah untuk
memohonkan ampunan bagi ayahnya (Dalam
Surah Maryam (19): 47-48).
Dakwah sejatinya adalah amalan mengajak manusia kepada kebaikan
dan menolak dari keburukan. Sebaik-baik kebaikan adalah beriman kepada Allah
dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dakwah haruslah
dimulai dari diri sendiri, karena setiap manusia adalah pemimpin – minimal
pemimpin bagi diri dan hawa nafsunya sendiri – dan setiap pemimpin akan
dimintai pertanggungjawabannya. Objek dakwah selanjutnya adalah orang-orang
terdekat. Begitu pula yang dilakukan oleh Rasulullaah shallallaahu’alaihi
wasallam dan para Rasul terdahulu, memulai dakwah dari keluarga dan orang-orang
terdekat. Sayyidinaa ‘Umar bin Khattab rahimahullah, di malam setelah baiatnya
sebagai amirul mukminin, mengumpulkan keluarganya dan menyampaikan bahwa
tidaklah ia akan memberlakukan hukum yang diberlakukannya pada seluruh umat
muslim yang dipimpinnya, melainkan ia berlakukan hukum itu lebih keras kepada
keluarganya sendiri. Berdakwah pada orang-orang terdekat ini telah Allah syariatkan
pula dalam AlQuran yang mulia di dalam surat At-Tahrim: 6
Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. ~Surah At-Tahriim (66): 6
Demikian pula syariat mengajarkan untuk berdakwah dengan
cara-cara yang baik, bukan dengan kekerasan.
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. ~Surah An-Nahl (16): 125
Hikmah:
ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak
dengan yang bathil.
Sebagai da’i, harus selalu kita ingat bahwa
tugas da’i hanyalah manyampaikan. Manusia tidak berkuasa memberikan hidayah
kepada sesama manusia. Bahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pun
tidak dapat memberikan hidayah kepada manusia yang didakwahinya. Hidayah
semata-mata adalah hak Allah Ta’ala untuk memberikan atau menahannnya pada
siapa yang Ia kehendaki dari hamba-hambaNya. Begitu pula Nabi Ibrahim
‘alaihissalam, tugas beliau berdakwah pada ayahnya telah beliau tunaikan.
Sebagai anak, dapat kita bayangkan betapa inginnya Ibrahim ‘alaihissalam
mengajak ayahnya keluar dari kesesatan dan mengikuti kebenaran. Namun, Allah
sajalah yang berhak membuka atau menutup hati Azar untuk menerima atau menolak
seruan dakwah anaknya.
3. Dakwah karena Allah, bagaimanapun hasilnya
Ketidakberhasilan Ibrahim ‘alaihissalam
dalam mengajak ayahnya kepada ketauhidan tidak lantas melemahkan ketetapan hati
dan menyurutkan semangatnya dalam berdakwah. Dakwah yang dilakukan harus
benar-benar lurus karena Allah, untuk Allah. Nabi Nuh ‘alaihissalam yang telah
berdakwah ratusan tahun hanya memiliki beberapa orang pengikut saja. Apakah
kemudian beliau melemahkan seruan dakwahnya pada manusia? Tidak. Karena tujuan
dari dakwah bukanlah untuk mencari pengikut sebanyak-banyaknya, melainkan untuk
meraih ridho Allah. Baiknya niat dan cara yang kita lakukan dalam setiap
aktivitas kehidupan kita tidak harus berbanding lurus dengan hasil yang akan
kita terima. Niat dakwah yang lurus karena Allah, cara dakwah yang baik, bukan
berarti harus menghasilkan target dakwah yang banyak. Karena hasil adalah area
Allah. Tidak layak kita sebagai manusia menyebrangi batas wilayah kita dan
memasuki batas wilayah-Nya. Area kita hanya pada niat dan usaha, serta tawakkal
sepenuhnya pada Allah. Apapun hasilnya, tugas kita selanjutnya adalah
senantiasa bersyukur atas setiap hidayah dan kasih sayang-Nya yang tiada
terputus. Catatan penting yang harus diingat bagi setiap pengemban amanah
dakwah, bahwa keistiqomahan dan kesabaran adalah 2 sahabat terdekat dakwah. Istiqomah
dan sabar lah yang membuat dakwah tetap ada, meski sebesar apapun tantangan
yang mungkin dihadapi. Dakwah harus terus berlangsung, karena itulah identitas
kita sebelum yang lainnya. Nahnu du’at
qobla kulli syai’. Dan karena, kita tidak pernah tau kapan yang kita tanam
akan tumbuh.
4. Dakwah butuh strategi
Setelah
dakwah terhadap orang-orang terdekatnya tertunaikan, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
meneruskan dakwah kepada kaumnya untuk memberikan penerangan bertauhid “Laa Ilaaha Illallah” dan menyapu
bersih penyembahan-penyembahan terhadap yang bathil. Langkah awal yang beliau
lakukan dalam menghadapi kaumnya adalah mendatangi mereka untuk berdialog
tentang kepercayaan yang dianut oleh kaumnya dan ajaran tauhid yang beliau
bawa. Ketika dialog ini tak kunjung bisa mereka argumentasi, maka mereka hanya
mengatakan, sesungguhnya kami hanya mengikuti para pendahulu kami.
Mereka
menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya". Ibrahim
berkata: "Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang
nyata". ~Surah Al-Anbiyaa’ (21): 53-54
Setelah metode diplomasi ini tidak berhasil, maka Nabi
Ibrahim ‘alaihissalam menggunakan cara lain yang lebih agresif. Beliau
mengetahui kebiasaan kaumnya yang akan pergi berpesta di tepi sungai, dimana
seluruh penduduk desa akan mengikuti kebiasaan itu hingga tidak ada tersisa
satu pun orang di desa. Maka ketika masa berpesta itu telah datang dan desa
telah sepi dari semua penduduknya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam keluar mendatangi
berhala-berhala itu dan mengejek mereka atas makanan-makanan yang tersaji di
hadapan mereka tapi tidak dimakan (Dalam
Surah Ash-Shaffaat (37): 91-92). Beliau pun lalu menghancurkan
berhala-berhala tersebut hingga menjadi pecah berkeping-keping (Dalam Surah Al-Anbiyaa’ (21): 57-58), tetapi ada satu berhala yang besar yang sengaja beliau
sisakan untuk strategi dakwah beliau selanjutnya. Dari kisah
ini kita dapat belajar bahwa mengetahui kebiasaan objek dakwah kita adalah termasuk
salah satu strategi dalam dakwah. Kebiasaan objek dakwah ini bisa menjadi
kekuatan atau bahkan kelemahan dari dakwah yang kita upayakan. Bila kebiasaan
ini menunjang dakwah kita, dapat kita kembangkan untuk membantu dakwah kita
lebih mudah diterima oleh objek dakwah. Namun sebaliknya, bila kebiasaan
tersebut akan melemahkan dakwah, kita dapat mengantisipasi sebelumnya agar
dapat meminimalisir tantangan-tantangan yang mungkin muncul di sepanjang jalan
dakwah.
Maka
setelah kaumnya kembali dari pesta perayaan itu, salah seorang dari mereka
menuju ke tempat penyembahan berhala dan didapatinya patung-patung
sesembahannya telah hancur tanpa bisa membela dirinya sendiri sekalipun. Kaum
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pun beramai-ramai menuduh beliau yang telah menghancurkan
berhala-berhala mereka. Maka dipanggillah beliau menghadap raja dan dihadapkan
pada khalayak ramai. Anugerah akal yang Allah berikan kepada beliau juga tampak
dari jawaban-jawaban beliau atas tuduhan kaumnya. Saat kaumnya bertanya apakah
benar beliau yang menghancurkan patung-patung tersebut, beliau menjawab bahwa
patung besar yang tersisa itulah yang menghancurkan semuanya dan ia bahkan
menyuruh kaumnya bertanya kepada patung yang besar itu perihal hancurnya
patung-patung yang lain. Kaumnya pun termakan oleh umpan yang diberikan oleh
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Mereka mengakui bahwa patung itu tidak dapat
berbicara (Dalam Surah Al-Anbiyaa (21): 59-65).
Beliau lalu menyampaikan seruannya:
Ibrahim
berkata: Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat
memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?"
Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu
tidak memahami? ~Surah Al-Anbiyaa’ (21): 66-67
Alih-alih menyadari
kesesatannya, kaumnya justru membalas dakwah beliau dengan merencanakan untuk
membakar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam di dalam api yang sangat besar (Dalam Surah
Al-Anbiyaa’ (21): 68). Alquran tidak mengisahkan secara detail
mengenai usia Nabi Ibrahim ‘alaihissalam saat mulai berdakwah kepada kaumnya,
menghancurkan berhala, hingga dihukum untuk dibakar hidup-hidup. Namun, dalam
Surah Al-Anbiyaa’ (21): 60, kaum Nabi Ibrahim menyebut beliau dengan ‘fatan’. Fatan dalam alquran diartikan
sebagai pemuda, seperti sebutan ‘fityatun’
(jamak) untuk pada pemuda Ashabul Kahfi.
5. Tidak ada yang tak mungkin bagi Allah (Dinginnya
api bagi Ibrahim ‘alaihissalam dan kelahiran Ishaq ‘alaihissalam)
Allah Ta’ala memiliki kuasa atas segala
sesuatu. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sesuatu yang bahkan bagi akal
manusia tidak dapat diterima, namun bila Allah menghendaki itu terjadi maka
terjadilah ia. Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menjadi salah satu bukti betapa
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan bahwa Allah akan menolong siapa saja
yang menolong agama-Nya. Saat tiba masa penghukuman bagi Nabi Ibrahim, Allah
berfirman kepada api yang disediakan untuk membakar beliau agar menjadi dingan
yang menyelamatkan Ibrahim ‘alaihissalam. Maka patuhlah api itu terhadap
perintah Tuhannya. Tali yang mengikat tangan beliau hangus terbakar oleh api
yang menyala-nyala, namun pakaian yang melekat dan tubuh beliau tidak tersentuh
oleh panasnya api sedikitpun. Maka heranlah orang-orang yang menyaksikan saat
itu. Jangankan orang-orang yang benar-benar menyaksikannya, kita pun yang
membaca kisahnya akan merasa tercengang dengan kuasa Allah ini. Inilah mukjizat
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang diberikan oleh Allah Ta’ala.
Mereka
hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu
orang-orang yang paling merugi. ~Surah Al-Anbiyaa’ (21): 70
Keajaiban lainnya yang Allah anugerahkan
kepada kekasih-Nya ini ialah kelahiran Nabi Ishaq ‘alaihissalam. Kisah ini
termuat dalam Quran Surah Hud (11): 72-73. Saat itu, usia Nabi Ibrahim dan
Sarah, istrinya, adalah sudah sangat tua. Namun, kuasa Allah menjadikan segala
sesuatunya mungkin. Dari rahim Sarah-lah terlahir putra keturunan Nabi Ibrahim
yang juga menjadi Rasul pilihan Allah, Nabi Ishaq ‘alaihissalam. Dari Isha,
lahir pula cucu dari Nabi Ibrahim, yakni Ya’qub ‘alaihissalam. Maka sesuailah
bila sebutan ‘Bapak Para Nabi’ disematkan untuk Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
6. Mencintai Allah di atas segalanya
Sebelum Ishaq, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah dianugerahi
oleh Allah seorang anak bernama Isma’il yang juga diangkat Allah menjadi Rasul.
Isma’il adalah anak Nabi Ibrahim dari istrinya, Hajar. Ujian bagi keluarga
mereka datang tidak hentinya. Setiap ujian ini termaktub dalam quran Surah
Ash-Shaffaat (37): 99-111. Nabi Ibrahim, Hajar, dan Nabi Ismail ‘alaihissalam
begitu kuatnya menanggung setiap perintah Allah, seberat apapun itu hanya
karena satu alasan: Cinta yang murni kepada Allah semata. Ini pulalah yang
harus kita teladani dari beliau, melaksanakan setiap perintah Allah dengan
memurnikan ketaatan dan kecintaan pada-Nya.
Alhamdulillaah...
No comments:
Post a Comment