Saturday, November 10, 2012

Keteladanan Sang Kekasih Allah


Bismillaah..






Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus ? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya. ~Surah An-Nisaa’ (4): 125

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah salah satu dari 5 orang rasul ulul azmi yang diberikan oleh Allah kemuliaan dan derajat yang tinggi melalui ujian-ujian yang amat berat. Sebagian kisah hidup kekasih Allah ini termuat dalam berbagai surat dalam Quran. Bahkan Allah Ta’ala mengabadikan nama beliau sebagai nama salah satu surat dalam Quran. Membaca kisah beliau memberikan keteladanan bagi kita umat Rasulullaah Muhammad Saw. Saya mencoba menjabarkan beberapa butir hikmah yang saya coba kais dari kisah kekasih Allah ini.

1. Mensyukuri anugerah akal
Manusia diamanahi oleh Allah untuk menjadi khalifah di bumi. Untuk memikul amanah yang berat ini, Allah membekali setiap manusia dengan akal. Akal membuat manusia berpikir tentang segala proses penciptaan makhluk, me’maksa’nya mengenal Tuhannya. Akal yang cemerlang akan mengantarkan manusia pada fakta tunggal: bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah, Tuhan Yang Esa. Bagaimana tidak? Coba kita renungkan bagaimana pepohonan dapat tumbuh, padahal sebelumnya ia tiada? Bagaimana hewan-hewan di darat dan laut dapat hidup, tumbuh, berkembang biak dengan setiap keunikannya? Bagaimana laut yang begitu luas, gunung yang sangat tinggi, diciptakan? Bagaimana pula bintang-bintang di langit tidak berjatuhan saat kita memandanginya di malam hari? Bagaimana terjadinya pergantian siang dan malam? Bagaimana matahari bisa
tetap terbit dari timur dan tenggelam di barat setiap harinya tanpa pernah salah satu hari pun? Dan tubuh kita, manusia, bagaimana pula ia diciptakan? Setiap detakan jantung, hantaran impuls sepanjang serabut saraf, setiap getaran yang masuk ke telinga hingga kita dapat mendengar suara orang-orang terkasih, setiap cahaya yang diterima oleh mata hingga kita dapat melihat keindahan dunia, setiap makanan yang masuk melalui mulut, udara yang masuk ke dalam paru, tangan dan kaki yang dapat bergerak sesuai yang kita inginkan... mungkinkah semuanya terjadi tanpa penciptaan, tanpa ada yang menciptakan? Mungkinkah setiap keajaiban, keteraturan di alam semesta ini terjadi dengan sendirinya? Ataukah semuanya hanya hasil dari proses adaptasi dan seleksi alam yang digaung-gaungkan oleh Darwin dan setiap manusia pengikut teori konyolnya? Akal yang cemerlang hanya akan memberi satu pilihan jawaban: Tidaklah mungkin semua ini melainkan ada penciptanya, dan tidak mungkin keteraturan ini diciptakan oleh lebih dari satu pencipta.
Ibrahim ‘alaihissalam, semenjak kecilnya telah mempergunakan akalnya untuk mengenal Tuhannya. Beliau terlahir dari keluarga terpandang di masyarakatnya kala itu, seniman-seniman pembuat patung dan berhala. Masyarakat di zamannya terbagi ke dalam 3 kelompok: penyembah berhala, penyembah bintang dan bulan, serta penyembah raja dan penguasa. Terlahir dalam kondisi masyarakat yang diliputi oleh pendustaan terhadap akal sehat seperti itu, Allah Ta’ala tetap menghidupkan hati dan akal beliau serta meliputinya dengan hikmah yang besar.
                Sejak kecil, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah menolak penuhanan terhadap patung dan berhala yang dibuat oleh keluarganya sendiri. Ia bahkan sering bermain-main dengan patung-patung tersebut dan saat diminta ayahnya menjajakan patung-patung itu keliling kota, ia mengejek patung yang dijajakannya kepada para pembeli. Beliau kemudian memulai pencariannya terhadap Tuhan. Karena masyarakat yang ada di masa itu sebagian besarnya adalah penyembah bintang dan bulan, maka mulailah beliau mengamati bintang dan bulan di malam hari untuk mencari kebenaran.

Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam." Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat." Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. ~Surah Al-An’am (6) : 76-79

                Hausnya akal Nabi Ibrahim ‘alaihissalam terhadap kebenaran membawanya kepada eksperimen untuk memantapkan hatinya bahwa Allah adalah Tuhan Maha Pencipta, satu-satunya Sesembahan bagi manusia. ‘Eksperimen’ ini dimuat dalam Surah Al-Baqarah (2): 260. Sebagai hamba Allah yang dianugerahi akal sekaligus umat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam yang bertauhid sesuai ketauhidan Ibrahim ‘alaihissalam, kita harus senantiasa bersyukur pada Allah. Rasa syukur kita terhadap anugerah akal yang Allah berikan adalah dengan selalu mempergunakan akal kita dalam merenungkan penciptaan Allah di alam semesta ini, sambil senantiasa berdoa pada-Nya agar menyelimuti akal kita dengan hidayah iman dan islam sehingga terhindarlah kita dari kesesatan akal dan kesombongan.

2. Memulai dakwah dari orang-orang terdekat dengan cara yang baik

Setelah meyakini kebenaran Allah Ta’ala sebagai Tuhan Yang Esa, Ibrahim ‘alaihissalam bergegas mendatangi ayahnya dengan tujuan untuk menyampaikan kebenaran yang telah beliau terima dari Allah kepada ayahnya. Belau datang kepada ayahnya dengan adab yang luhur sebagaimana adab anak yang berbakti pada orang tuanya. Beliau menyampaikan pada Azar, ayahnya, bahwa Allah telah mengutusnya menjadi nabi dan rasul dan memberikan ilmu padanya yang tiada diberikan pada ayahnya. Beliau menyampaikan bahwa penyembahan terhadap berhala adalah sebuah kesesatan dari syaitan dan bahwa syaitan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Beliau pun mengajak ayahnya untuk meninggalkan berhala dan beralih untuk menyembah Allah Ta’ala saja. (Dalam Surah Maryam (19): 42-45)
Mendengar penjelasan dan ajakan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Azar menjadi sangat marah dan menolak mentah-mentah seruan beliau untuk mengesakan Allah saja. Beliau bahkan dicaci dengan kata-kata kasar dan diusir oleh ayahnya dari rumah. Allah telah membekali Ibrahim ‘alaihissalam dengan hati yang lemah lembut, hingga beliau tetap berakhlak baik kepada ayahnya meskipun telah diperlakukan dengan begitu kasar (Dalam Surah Maryam (19): 46). Beliau bahkan berdoa kepada Allah untuk memohonkan ampunan bagi ayahnya (Dalam Surah Maryam (19): 47-48).
Dakwah sejatinya adalah amalan mengajak manusia kepada kebaikan dan menolak dari keburukan. Sebaik-baik kebaikan adalah beriman kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dakwah haruslah dimulai dari diri sendiri, karena setiap manusia adalah pemimpin – minimal pemimpin bagi diri dan hawa nafsunya sendiri – dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya. Objek dakwah selanjutnya adalah orang-orang terdekat. Begitu pula yang dilakukan oleh Rasulullaah shallallaahu’alaihi wasallam dan para Rasul terdahulu, memulai dakwah dari keluarga dan orang-orang terdekat. Sayyidinaa ‘Umar bin Khattab rahimahullah, di malam setelah baiatnya sebagai amirul mukminin, mengumpulkan keluarganya dan menyampaikan bahwa tidaklah ia akan memberlakukan hukum yang diberlakukannya pada seluruh umat muslim yang dipimpinnya, melainkan ia berlakukan hukum itu lebih keras kepada keluarganya sendiri. Berdakwah pada orang-orang terdekat ini telah Allah syariatkan pula dalam AlQuran yang mulia di dalam surat At-Tahrim: 6









Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. ~Surah At-Tahriim (66): 6

Demikian pula syariat mengajarkan untuk berdakwah dengan cara-cara yang baik, bukan dengan kekerasan.


                






Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. ~Surah An-Nahl (16): 125
Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.

Sebagai da’i, harus selalu kita ingat bahwa tugas da’i hanyalah manyampaikan. Manusia tidak berkuasa memberikan hidayah kepada sesama manusia. Bahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pun tidak dapat memberikan hidayah kepada manusia yang didakwahinya. Hidayah semata-mata adalah hak Allah Ta’ala untuk memberikan atau menahannnya pada siapa yang Ia kehendaki dari hamba-hambaNya. Begitu pula Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, tugas beliau berdakwah pada ayahnya telah beliau tunaikan. Sebagai anak, dapat kita bayangkan betapa inginnya Ibrahim ‘alaihissalam mengajak ayahnya keluar dari kesesatan dan mengikuti kebenaran. Namun, Allah sajalah yang berhak membuka atau menutup hati Azar untuk menerima atau menolak seruan dakwah anaknya.

    3.  Dakwah karena Allah, bagaimanapun hasilnya
Ketidakberhasilan Ibrahim ‘alaihissalam dalam mengajak ayahnya kepada ketauhidan tidak lantas melemahkan ketetapan hati dan menyurutkan semangatnya dalam berdakwah. Dakwah yang dilakukan harus benar-benar lurus karena Allah, untuk Allah. Nabi Nuh ‘alaihissalam yang telah berdakwah ratusan tahun hanya memiliki beberapa orang pengikut saja. Apakah kemudian beliau melemahkan seruan dakwahnya pada manusia? Tidak. Karena tujuan dari dakwah bukanlah untuk mencari pengikut sebanyak-banyaknya, melainkan untuk meraih ridho Allah. Baiknya niat dan cara yang kita lakukan dalam setiap aktivitas kehidupan kita tidak harus berbanding lurus dengan hasil yang akan kita terima. Niat dakwah yang lurus karena Allah, cara dakwah yang baik, bukan berarti harus menghasilkan target dakwah yang banyak. Karena hasil adalah area Allah. Tidak layak kita sebagai manusia menyebrangi batas wilayah kita dan memasuki batas wilayah-Nya. Area kita hanya pada niat dan usaha, serta tawakkal sepenuhnya pada Allah. Apapun hasilnya, tugas kita selanjutnya adalah senantiasa bersyukur atas setiap hidayah dan kasih sayang-Nya yang tiada terputus. Catatan penting yang harus diingat bagi setiap pengemban amanah dakwah, bahwa keistiqomahan dan kesabaran adalah 2 sahabat terdekat dakwah. Istiqomah dan sabar lah yang membuat dakwah tetap ada, meski sebesar apapun tantangan yang mungkin dihadapi. Dakwah harus terus berlangsung, karena itulah identitas kita sebelum yang lainnya. Nahnu du’at qobla kulli syai’. Dan karena, kita tidak pernah tau kapan yang kita tanam akan tumbuh.  


4. Dakwah butuh strategi
Setelah dakwah terhadap orang-orang terdekatnya tertunaikan, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam meneruskan dakwah kepada kaumnya untuk memberikan penerangan bertauhid “Laa Ilaaha Illallah” dan menyapu bersih penyembahan-penyembahan terhadap yang bathil. Langkah awal yang beliau lakukan dalam menghadapi kaumnya adalah mendatangi mereka untuk berdialog tentang kepercayaan yang dianut oleh kaumnya dan ajaran tauhid yang beliau bawa. Ketika dialog ini tak kunjung bisa mereka argumentasi, maka mereka hanya mengatakan, sesungguhnya kami hanya mengikuti para pendahulu kami.

 

Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata". ~Surah Al-Anbiyaa’ (21): 53-54
          
  Setelah metode diplomasi ini tidak berhasil, maka Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menggunakan cara lain yang lebih agresif. Beliau mengetahui kebiasaan kaumnya yang akan pergi berpesta di tepi sungai, dimana seluruh penduduk desa akan mengikuti kebiasaan itu hingga tidak ada tersisa satu pun orang di desa. Maka ketika masa berpesta itu telah datang dan desa telah sepi dari semua penduduknya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam keluar mendatangi berhala-berhala itu dan mengejek mereka atas makanan-makanan yang tersaji di hadapan mereka tapi tidak dimakan (Dalam Surah Ash-Shaffaat (37): 91-92). Beliau pun lalu menghancurkan berhala-berhala tersebut hingga menjadi pecah berkeping-keping (Dalam Surah Al-Anbiyaa’ (21): 57-58), tetapi ada satu berhala yang besar yang sengaja beliau sisakan untuk strategi dakwah beliau selanjutnya. Dari kisah ini kita dapat belajar bahwa mengetahui kebiasaan objek dakwah kita adalah termasuk salah satu strategi dalam dakwah. Kebiasaan objek dakwah ini bisa menjadi kekuatan atau bahkan kelemahan dari dakwah yang kita upayakan. Bila kebiasaan ini menunjang dakwah kita, dapat kita kembangkan untuk membantu dakwah kita lebih mudah diterima oleh objek dakwah. Namun sebaliknya, bila kebiasaan tersebut akan melemahkan dakwah, kita dapat mengantisipasi sebelumnya agar dapat meminimalisir tantangan-tantangan yang mungkin muncul di sepanjang jalan dakwah.  
         Maka setelah kaumnya kembali dari pesta perayaan itu, salah seorang dari mereka menuju ke tempat penyembahan berhala dan didapatinya patung-patung sesembahannya telah hancur tanpa bisa membela dirinya sendiri sekalipun. Kaum Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pun beramai-ramai menuduh beliau yang telah menghancurkan berhala-berhala mereka. Maka dipanggillah beliau menghadap raja dan dihadapkan pada khalayak ramai. Anugerah akal yang Allah berikan kepada beliau juga tampak dari jawaban-jawaban beliau atas tuduhan kaumnya. Saat kaumnya bertanya apakah benar beliau yang menghancurkan patung-patung tersebut, beliau menjawab bahwa patung besar yang tersisa itulah yang menghancurkan semuanya dan ia bahkan menyuruh kaumnya bertanya kepada patung yang besar itu perihal hancurnya patung-patung yang lain. Kaumnya pun termakan oleh umpan yang diberikan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Mereka mengakui bahwa patung itu tidak dapat berbicara (Dalam Surah Al-Anbiyaa (21): 59-65). Beliau lalu menyampaikan seruannya:
Ibrahim berkata: Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?" Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami? ~Surah Al-Anbiyaa’ (21): 66-67

Alih-alih menyadari kesesatannya, kaumnya justru membalas dakwah beliau dengan merencanakan untuk membakar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam di dalam api yang sangat besar (Dalam Surah  Al-Anbiyaa’ (21): 68). Alquran tidak mengisahkan secara detail mengenai usia Nabi Ibrahim ‘alaihissalam saat mulai berdakwah kepada kaumnya, menghancurkan berhala, hingga dihukum untuk dibakar hidup-hidup. Namun, dalam Surah Al-Anbiyaa’ (21): 60, kaum Nabi Ibrahim menyebut beliau dengan ‘fatan’. Fatan dalam alquran diartikan sebagai pemuda, seperti sebutan ‘fityatun’ (jamak) untuk pada pemuda Ashabul Kahfi.

    5. Tidak ada yang tak mungkin bagi Allah (Dinginnya api bagi Ibrahim ‘alaihissalam dan kelahiran Ishaq ‘alaihissalam)
Allah Ta’ala memiliki kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sesuatu yang bahkan bagi akal manusia tidak dapat diterima, namun bila Allah menghendaki itu terjadi maka terjadilah ia. Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menjadi salah satu bukti betapa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan bahwa Allah akan menolong siapa saja yang menolong agama-Nya. Saat tiba masa penghukuman bagi Nabi Ibrahim, Allah berfirman kepada api yang disediakan untuk membakar beliau agar menjadi dingan yang menyelamatkan Ibrahim ‘alaihissalam. Maka patuhlah api itu terhadap perintah Tuhannya. Tali yang mengikat tangan beliau hangus terbakar oleh api yang menyala-nyala, namun pakaian yang melekat dan tubuh beliau tidak tersentuh oleh panasnya api sedikitpun. Maka heranlah orang-orang yang menyaksikan saat itu. Jangankan orang-orang yang benar-benar menyaksikannya, kita pun yang membaca kisahnya akan merasa tercengang dengan kuasa Allah ini. Inilah mukjizat Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang diberikan oleh Allah Ta’ala.
Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi. ~Surah Al-Anbiyaa’ (21): 70

Keajaiban lainnya yang Allah anugerahkan kepada kekasih-Nya ini ialah kelahiran Nabi Ishaq ‘alaihissalam. Kisah ini termuat dalam Quran Surah Hud (11): 72-73. Saat itu, usia Nabi Ibrahim dan Sarah, istrinya, adalah sudah sangat tua. Namun, kuasa Allah menjadikan segala sesuatunya mungkin. Dari rahim Sarah-lah terlahir putra keturunan Nabi Ibrahim yang juga menjadi Rasul pilihan Allah, Nabi Ishaq ‘alaihissalam. Dari Isha, lahir pula cucu dari Nabi Ibrahim, yakni Ya’qub ‘alaihissalam. Maka sesuailah bila sebutan ‘Bapak Para Nabi’ disematkan untuk Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

    6.  Mencintai Allah di atas segalanya
Sebelum Ishaq, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah dianugerahi oleh Allah seorang anak bernama Isma’il yang juga diangkat Allah menjadi Rasul. Isma’il adalah anak Nabi Ibrahim dari istrinya, Hajar. Ujian bagi keluarga mereka datang tidak hentinya. Setiap ujian ini termaktub dalam quran Surah Ash-Shaffaat (37): 99-111. Nabi Ibrahim, Hajar, dan Nabi Ismail ‘alaihissalam begitu kuatnya menanggung setiap perintah Allah, seberat apapun itu hanya karena satu alasan: Cinta yang murni kepada Allah semata. Ini pulalah yang harus kita teladani dari beliau, melaksanakan setiap perintah Allah dengan memurnikan ketaatan dan kecintaan pada-Nya.

Alhamdulillaah...

-JogjaCity, 101112-
22.09 wib

No comments: