Wednesday, July 4, 2012

Marhaban yaa Ramadhan


Puasa sejatinya adalah sarana meningkatkan kualitas diri kita di hadapan Allah Ta’ala. Untuk bisa meningkatkan kualitas diri dengan puasa, kita butuh ilmunya. Ilmu yang shahih, bersumber dari Quran dan Hadits Rasulullaah Saw yang shahih pula.

Dalam AlQur’an, puasa disebut dalam dua bahasa, yaitu Shiyaam dan Shaum. Kata Shiyaam disebutkan sebanyak 8 kali di dalam Qur’an, salah satunya dalam AlBaqarah ayat 183 yang sudah sering kita dengar dan baca dan hafalkan berulang-ulang.. J Kata Shaum disebutkan 1 kali dalam Qur’an, yaitu dalam surat Maryam ayat 26:

26. maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". 

Dalam surat Maryam ayat 26 kata Shauman yang diartikan berpuasa memiliki makna menahan diri dari berbicara dengan manusia lainnya.

Baik kata Shiyaam maupun Shaum tersusun dari 3 huruf hijaiyah.. yaitu Shad, Wau, dan Mim. Dalam fi’il madhi-mudhori’ nya menjadi Shooma – Yashuumu. Huruf alif dalam kata Shooma (fi’il madhi) sebenarnya
berasal dari huruf Waw. Arti bahasa dari Shooma – Yashuumu adalah: menahan, tidak bergerak, diam, membatasi. Berdasarkan istilah berarti menahan diri dari makan dan minum dan hubungan suami-istri dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari demi mencari ridho Allah Ta’ala. Ada lagi makna haqiqi dari puasa, yang diperoleh dari tuntunan-tuntunan Rasulullaah Saw dan teladan yang ditunjukkan para shahabat dan shahabiyah, yaitu: Puasa adalah mengendalikan seluruh anggota tubuh, termasuk hati dan pikiran, dari perbuatan-perbuatan yang dapat menjerumuskan diri kepada dosa demi mencari ridho Allah Ta’ala.

Syari’at Islam memerintahkan puasa Ramadhan sebagai puasa wajib bagi umat mukmin sejak tahun 2 H, seiring dengan wajibnya berjihad. Rasulullaah Saw berpuasa Ramadhan bersama para sahabat sebanyak 9 kali (sejak disyariatkannya tahun 2H sampai meninggalnya Rasulullaah Saw). Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menulis bahwa puasa akan mengajarkan kita 2 hal pokok yang merupakan sarana yang paling sederhana dalam mencapai derajat taqwa di hadapan Allah Ta’ala, yaitu:
1.  Menjaga kebersihan hati
2.   Mampu mengendalikan hawa nafsu

Buah dari taqwa kepada Allah Ta’ala termaktub dalam Surat Ath-Thalaaq ayat 2-3, dan dilanjutkan di ayat 5..



2. Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
3. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
5. Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.

1.       Dibukakan jalan keluar baginya
2.       Diberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangka
3.       Dicukupkan keperluannya
4.       Dihapus kesalahan-kesalahannya dan dilipatgandakan pahala baginya

Puasa adalah salah satu sarana pendidikan karakter yang telah dikenal sejak dahulu. Mengenai hal ini, teringat kisah inspiratif dari seorang anak penggembala..

Pada suatu siang yang panas, Abdullah ibnu Umar sedang beristirahat dengan sahabatnya setelah lelah berdagang sambil menyantap makanan. Lalu lewatlah di depannya seorang anak penggembala kambing. Karena merasa iba dengan anak itu, Abdullah ibn Umar lalu memanggilnya dan ditawarkannya makanan. Namun anak itu menjawab, “Maaf Tuan, sesungguhnya aku hari ini berpuasa.” Abdullah ibn Umar kagum dan terkejut, lalu berkata, “Di panas seperti ini, kau menggembala kambing dan berpuasa?” Anak itu menjawab, “Panasnya neraka lebih dahsyat dari ini.”
Abdullah ibn Umar yang merasa kagum dengan anak itu kemudian membiarkannya berlalu. Namun tidak berapa lama kemudian ia ingin menguji anak itu, ia lalu memanggil kembali anak penggembala itu. Abdullah ibn Umar berkata, “Berikanlah kepadaku satu kambing gembalamu.” Si anak menjawab, “Sesungguhnya kambing ini adalah milik Tuanku.” Lalu Abdullah ibn Umar berkata, “Juallah satu kambing itu kepadaku, lalu katakan kepada tuanmu bahwa salah satu kambingnya dimakan binatang buas.” Si anak penggembala seketika memegangi jubah Abdullah ibn Umar lalu berkata tegas, “Dimana Allah? Dimana Allah? Dimana Allah?” Mendengar jawaban anak itu, Abdullah ibnu Umar menangis tersedu-sedu seraya meminta maaf pada anak itu telah mengujinya sedemikian rupa.

Kisah tersebut menggambarkan betapa puasa telah membentuk karakter si anak penggembala. Pembentukan karakter melalui puasa ini membutuhkan latihan. Sebagaimana ketaatan membutuhkan kesabaran, termasuk berpuasa. Dan sabar itu harus dilatih. Namun, dalam berlatih kita harus menunjukkan kemajuan, bukan kemunduran.

Sabda Rasulullaah Saw:
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu: Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi khabar gembira kepada para sahabatnya dengan bersabda, "Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepadamu puasa didalamnya; pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan diikat; juga terdapat pada bulan ini malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia tidak memperoleh apa-apa." (HR. Ahmad dan An-Nasa'i) 

Dari hadits di atas, ulama menyepakati 3 hal:
1.       Sunnah hukumnya mengucapkan “Selamat Datang Ramadhan”, sebagiannya menyampaikan mubah hukumnya. Ucapan ini bisa disampaikan dalam dua bahasa:
-          Marhaban yaa Ramadhan à paling banyak digunakan. Sebagian mengatakan berasal dari kata ‘Rohbun’ yang berarti lapang/ luas, maknanya kelapangan hati dan diri dalam menanti Ramadhan yang telah diimpi-impikan. Sebagian lagi mengatakan berasal dari kata ‘Rohba’ yang artinya garasi/ tempat menyimpan/ memperbaiki kendaraan, maknanya kita ingin memperbaiki diri di bulan Ramadhan.
-          Ahlan wa Sahlan yaa ramadhan à penerimaan penuh sukacita dan dengan kemudahan (kelapangan) menerima datangnya Ramadhan.
2.       Memperbanyak ibadah vertikal kepada Allah selama bulan Ramadhan, seperti puasa, sholat, berdzikir, doa, dan memohon ampunan Allah.
3.       Perkuat ibadan di 10 hari akhir Ramadhan, karena di situlah terdapat malam lailatu qadr.

Cara menentukan awal ramadhan, terdapat 3 cara:
1.       Melihat hilal
2.       Menggenapkan hari di bulan Sya’ban
 Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berhari rayalah karena melihatnya, jika hilal hilang dari penglihatanmu maka sempurnakan bilangan Sya’ban sampai tiga puluh hari. (HR. Bukhari No. 1909)
3.       Memperkirakan (Surah Yunus: 5)

5. Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

Umat Islam seringkali mengalami perbedaan pendapat mengenai masuknya bulan Ramadhan ini. Bagaimana perbedaan ini bisa terjadi??
Rasulullaah Saw mencontohkan penentuan awal Ramadhan dengan melihat hilal adalah karena beliau dan sebagian besar sahabat saat itu adalah kaum umiyyin, sehingga mereka tidak terbiasa melakukan penghitungan seperti yang terdapat dalam surah Yunus ayat 5. Namun bulan qomariyyah itu dikatakan oleh Nabi, kadang-kadang 29 hari, kadang-kadang 30 hari. Tidak mungkin kurang dari 29 dan tidak mungkin lebih dari 30. Sehingga bila hilal tidak terlihat setelah terbenam matahari tanggal 29, maka digenapkan bulan itu menjadi 30 hari. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, dalam melihat hilal para ahli (ulama) menetapkan derajat bisa terlihatnya hilal. Penetapan derajat inilah yang masih berbeda-beda, karena terdapat perbedaan untuk menentukan derajat yang terendah ataukah derajat dimana hilal bisa benar-benar terlihat. Perbedaan di ujung ijtihad inilah yang membuat hasil kesimpulan dari penetapan awal/ akhir Ramadhan menjadi berbeda-beda. Sehingga tidak perlu lagi kita memperpanjang perdebatan, karena sesungguhnya ilmunya sudah sama insyaAllah.. Hanya kemudian terdapat perbedaan di ujungnya, mengenai penetapan derajat hilal tersebut. Jadilah kesimpulan akhirnya berbeda. Seorang yang menentukan terlihat/ tidaknya hilal haruslah orang yang bersih dari berbagai macam hal selain mencari ridho Allah. Jika ternyata ornag tersebut adalah orang yang memiliki berbagai motif lain selain mencari ridho Allah, maka kita serahkan sepenuhnya hal itu kepada Allah Ta’ala.

Nah sekarang mengenai puasa nisyfu sya’ban. Sebagian ulama menyatakan hadits-hadits mengenai nisyfu sya’ban adalah palsu, sehingga tidak dapat digunakan. Sebagiannya lagi mengatakan hadits-haditsnya dlo’if, sehingga bila merujuk ke Fadhillaah ‘Amaal, maka masih bisa digunakan haditsnya untuk penyemangat namun bukan sebagai landasan hukum. Akan tetapi, yang dianjurkan adalah amalan puasa nisyfu sy’ban ini tidak dilakukan. Lalu hadits mana yang shohih? Yang shohih adalah bahwa Rasulullaah Saw sering sekali berpuasa di bulan Sya’ban, dan tidak pernah mengkhususkan di waktu-waktu tertentu baik awal, tengah, maupun akhir.

Lalu yang terakhir.. mengenai tarawih dan witir. Berapa raka’atkah yang benar? Jawabannya adalah boleh dilakukan 11 raka’at, 13 raka’at, 23 raka’at, bahkan juga 29 raka’at. Sirah yang terjadi adalah: Setelah disyariatkannya puasa di bulan Ramadhan, di malam pertama Ramadhan Rasulullaah Saw keluar dari rumahnya dan sholat di masjid. Tindakan beliau ini diikuti oleh para sahabat yang menyaksikan. Setelah sholat 8 raka’at, beliau masuk kembali ke rumah. Esok malamnya (malam kedua) beliau kembali sholat 8 raka’at dan sahabat yang mengikuti sholat di belakang beliau semakin banyak. Setelah 8 raka’at beliau masuk kembali ke dalam rumahnya. Malam ketiga, jumlah sahabat yang mengikuti beliau sholat semakin banyak lagi, dan setelah 8 raka’at solat beliau kembali masuk ke rumah. Ketika malam ke-empat, beliau tidak lagi keluar rumah dan memimpin sholat. Beliau menyampaikan bahwa beliau khawatir sholat ini nanti akan dianggap wajib oleh umatnya apabila terus beliau lakukan berjama’ah dengan para sahabat. Maka sejak saat itu, tidak dilakukan solat tarawih berjama’ah. Hingga tibalah di zaman kepemimpinan khalifah Umar alFaruq. Di suatu malam Ramadhan beliau menyaksikan umat Islam melaksanakan solat sendiri-sendiri di dalam masjid. Beliau pun menjadi khawatir kelak nanti hal ini menjadi perpecahan di kalangan umat Islam setelahnya, akhirnya beliau menghimpun semua umat menjadi satu dan memimpin sholat tarawih berjama’ah sebanyak 20 raka’at. Para ulama menyampaikan perbedaan raka’at yang dicontohkan Rasulullaah Saw dengan yang dilakukan Umar bin Khattab adalah karena perbedaan bacaan surah. Rasulullaah Saw melakukan sholat 8 raka’at dengan bacaan-bacaan surah yang panjang. Jadi panjangnya bacaan mengambil pendeknya raka’at, dan pendeknya bacaan mengambil panjangnya raka’at. Sehingga, tidak perlu lagi kita memperdebatkan perbedaan raka’at solat tarawih ini. Yang penting, tartil, tuma’ninah.. jangan kejar setoran. ya Allah..

Ramadhan tinggal hitungan hari. Mari kita sambut bersama dengan hati lapang, penuh suka cita, persiapan matang.. J jangan sampai kita penuh kegundahan, kegelisahan, dalam menyembutnya.. termasuk gundah gelisah dengan perbedaan-perbedaan yang ada. Luruskan niat, sucikan hati.. Semoga Allah membimbing kita meningkatkan kualitas diri.. Marhaban yaa Ramadhan.. J J

No comments: