Hasbiyallah.. Cukuplah Allah
bagiku. Sering kita mendengar kalimat ini terlantun dari lisan seorang muslim.
Kalimat bukan sembarang kalimat. Ketika diucapkan dengan sesungguh hati, inilah
kalimat pernyataan keutuhan iman seorang hamba kepada Rabb-nya.. Allah Ta’ala.
Jadi ingat kisah shahabat Abu
Bakar Ash-Shiddiq yang terekam dalam sejarah ketika beliau menginfakkan seluruh
hartanya di jalan Allah, lalu beliau ditanya, “Apa yang kau tinggalkan untuk
keluargamu?” Jawab beliau, “Aku tinggalkan untuk keluargaku, Allah dan
Rasul-Nya.” Hmm. Dulu nih, jaman dulu. Lebih 10 tahun-an yang lalu mungkin,
saya suka mempertanyakan dalam hati jawaban Abu Bakar ‘alaihissalam ini. Otak
saya yang masih didominasi oleh logika ’semata’ mencoba memahami bagaimana bisa
Abu Bakar sebegitu yakinnya bahwa ia bisa hidup dan menghidupi keluarganya
tanpa harta sepeser pun yang ia tinggalkan. Hehe.
Maklum, kan ceritanya dulu belum ‘ngaji’.
Ya, Abu Bakar adalah contoh nyata
seorang hamba Allah sekaligus pengikut Rasulullaah Saw yang begitu shahih
aqidahnya. Tingkat keyakinan beliau pada Allah dengan segenap kuasa-Nya adalah bulat
100%. Beliau teladan yang sempurna. Beliau terlepas dari setiap bentuk
ketergantungan terhadap makhluk, baik manusia, harta, jabatan, kedudukan, dll.
Beliau yakin sepenuhnya bahwa yang rizki beliau dan keluarganya tidaklah
ditanggung oleh harta yang beliau miliki melainkan sepenuhnya, semata-mata
hanyalah oleh Allah Rabb Semesta Alam. Dan tingkat keyakinan yang seperti ini
sangat penting untuk kita miliki sepanjang umur hidup kita, hingga kematian itu
datang. Keyakinan yang utuh kepada Allah, tidak ternoda oleh kebergantungan
terhadap selain Allah sekecil apapun.
Hehe, lompat-lompat nih jadinya. Selama hidup, adalah sebuah
keharusan bagi kita untuk senantiasa berinteraksi dengan makhluk (baca:
manusia. saya lagi pingin bahas terutama tentang interaksi sama manusia dulu
nih. hehe). Interaksi inilah yang kemudian seringkali mendatangkan
kenangan-kenangan manis, namun tidak jarang pula meninggalkan kenangan pahit.
Disayang mama-papa, disenangi teman, dibayarin makan, dianter-jemput pergi-pulang
sekolah/kantor, disenyumin orang, dimasakin masakan enak, diajarin ilmu
bermanfaat, dikasi hadiah, dihibur pas sedih, ditemenin pas sendirian, dan
masih banyak lagi kenangan manis yang bisa terukir dari interaksi kita dengan
manusia. Di lain pihak, bukan tidak mungkin kita mengalami saat-saat diledek,
dicibir, diketusin, diklakson sama mobil belakang padahal lampu lalu lintas
masi merah, disalip kanan-kiri padahal udah cakep2 jalan lurussss (sungguh
bikin kaget bin ngeri dehh org yg nyalip2 tuh, apalagi nyalipnya sambil ngebut
smp bunyi ngoeeengggg kenceng banget gtu -,-“), dimarahi dosen, diomongin
orang, dan di- di- lainnya yang ga enak di hati. Ketika yang kita terima adalah
hal-hal manis, alhamdulillaah.. tapi yang kemudian seirng menjadi masalah
adalah bila yang kita terima adalah hal-hal yang pahit tadi. Kenapa oh kenapa? Karena seringkali
hal-hal gak ngenakin itu bikin kita bete, boring, kecewa, sedih, sakit hati,
patah hati (err.. secara terminologi kedokteran ini sangat salah, bo..karena cuma
tulang sama gigi yang bisa patah). Perasaan2 macam ini, ketika kita tidak
pandai-pandai menyikapinya, bisa jadi penyakit hati yang kronis bahkan
berkarat. Na’udzubillaah..
Di sinilah pentingnya
kalimat pertama pada postingan ini. Rasa sakit hati, kecewa, sedih, bete,
kesel, bisa muncul ketika kita masih menggantungkan diri pada makhluk. Ketergantungan
dengan berbagai macam bentuknya: ingin dihargai orang, ingin disayang orang,
ingin selalu diperlakukan baik sama orang, ingin selalu ditemenin pas
sendirian, ingin selalu dihibur pas sedih, ingin disenengin dosen, macem-macem
keinginan lain deh yang merujuknya selalu kepada makhluk (dalam hal ini
konteksnya saya baru membahas makhluk yang namanya manusia). Nah selama
ketergantungan dengan manusia ini masih ada, sekecil apapun, maka ketika terjadi
hal-hal yang kontra dengan keinginan-keinginan tadi, kita akan merasakan yaa
tadi itu.. marah, kesel, sebel, sakit hati, kecewa, sedih.. Berbeda, sangat
berbeda ketika ketergantungan ini sudah dilepaskan. Tidak ada ketergantungan
lagi terhadap makhluk. Cukuplah Allah saja. Dan cukup artinya yaa cukup. Enough is enough. :) Cukuplah kasih sayang dan ampunan
Allah yang mengisi relung-relung hati kita.. maka apapun hal tidak mengenakkan yang
kita terima dari manusia lain tidak akan mengusik hati kita, tak akan membuat
luka di hati kita. Ketika pun kita masih harus merasa kecewa/ sakit hati atas
dikap orang lain yang tidak menyenangkan, maka semudah rasa sakit itu datang,
semudah itu pula ia akan pergi.. tidak akan ia menjangkiti hati dan menimbulkan
penyakit di dalamnya. Tidak akan, insyaAllah.. Karena hati yang merasa cukup
dengan Allah akan selalu dalam kesadaran bahwa dirinya terlalu berharga untuk
disakiti oleh sesama manusia. So, yukss sama-sama kita belajar
mencukupkan diri dan hidup hanya dengan Allah.. J
Karena sungguh, Allah maha mencukupkan setiap kebutuhan kita. Apapun itu.