Bismillaah..
Setiap hari Senin sampai Sabtu
selama sebulan terakhir ini saya menjadi pelanggan setia bus umum (bus atau bis?). Banyak inspirasi
yang saya dapat selama
perjalanan bolak-balik di
atas bus. Salah satunya saya tuangkan ke dalam tulisan ini.
Jadi ceritanya sekitar 1 mingguan yang
lalu, saya pulang kerja seperti biasa nunggu bus di pinggir jalan (digebugin orang sepasar nek di tengah jalan). Saat datang bus yang dinanti, saya pun naik ke dalam bus, tingak tinguk cari
tempat duduk. Bus masih agak kosong
sore itu. Beberapa baris kursi berkapasitas 2 orang baru ditempati satu orang penumpang. Saya pun
memilih satu kursi kosong, persis di samping seorang bapak paruh baya berkaos lusuh warna coklat
susu. dari awal saya
lirik si bapak ini dalam
hati, ‘kurus bangett ya Allah..’ Bus
pun melaju beberapa puluh meter lalu berhenti menunggu penumpang. Di tempat ngetem ini,
biasalah.. banyak abang-abang jualan yang naik bus nawarin jajanan.. aqua,
mijon, dondong, tahu, tisu, lampe
(baca: lap kecil. *jangan tanya saya kenapa disebut lampe, saya juga bingung kenapa si abang ngomongnya ‘lampe,lampe,lampe..lampenya
neng’), sampai kacang telur-permen jahe. Nah bagi para pembaca yang juga
pelanggan setia bus umum, pasti hafal bener modus jualannya abang-abang kacang
telur-permen jahe ini adalah
dengan menaruh 1-2
bungkus jualannya di
atas pangkuan setiap penumpang untuk kemudian dipungutin
lagi satu-satu.. Saya, yang memang persis sebelum pulang sore itu baru makan
siang sama temen, memutuskan untuk tidak membeli jajanan si abang kacang telur-permen jahe. Masih
kenyang.
Datanglah si abang ke arah saya dan bapak kaos coklat susu.
Jualan si abang 2-2nya saya kembalikan. Si bapak paruh baya hanya mengembalikan
kacang telur dan
selembar uang 2000an. Beliau membeli sebungkus permen jahe rupanya. Seketika
bus akan tancap gas karena penumpang yang mulai penuh, bapak kaos coklat susu
tiba-tiba menyodorkan
permen jahe ke arah saya, “Mau, Teh?” Saya, yang sebenarnya cukup kaget dengan manuver si bapak, sempet
bengong sebentar sambil menengok dan melihat wajah si bapak. Senyum mengembang di wajah beliau. Saya menolak dengan halus, gak lupa pake
senyum semanis mungkin. Selain karena saya memang tidak terlalu suka dengan produk-produk jahe (minuman, permen, kue, apapun
lah..), saya juga memang masih kenyang. Lagipula, saya mulai berpikir mungkin
si bapak lapar belum sempat makan siang makanya beli permen jahe. Atau bahkan
belum sempet sarapan juga dari
pagi. Soalnya bapaknya itu emang kurus banget. Kalo ditimbang, tebakan saya berat badannya gak sampe 45 kg deh. Tapi fisiknya terkesan
cukup sehat.
Beberapa meter setelah bus
melaju, saya terus memikirkan tentang manuver si bapak kaos coklat susu yang
menawarkan permen jahenya kepada
saya. Ya Allah.. memori saya tiba-tiba seperti ditarik kembali pada momen beberapa tahun lalu (yang
sebenarnya sudah lama
banget gak pernah saya ingat-ingat).. di dalam pesawat
salah satu maskapai penerbangan di
Indonesia yang tidak menyediakan makanan bagi penumpangnya. Hehe.
Saat itu saya ingat banget... saya kelaparan! Masya Allah. Perut saya perih
banget waktu itu saya inget persis karena saya belum sempat makan apa-apa di hari itu sejak pagi, padahal saya naik pesawat itu sudah sore. Nah, yang bikin
mirisnya adalah orang
yang duduk di samping saya di pesawat itu bawa bekal makanan roti
sobek yang kira-kira seukuran netbook. Saya benar-benar laparrr minta ampun ya
Allah.. tapi orang yang duduk di samping saya tidak sekalipun menawarkan roti yang
beliau makan kepada
saya sampai disimpannya
lagi sebagian sisanya. Dan
ya gak mungkin juga saya tiba-tiba bilang ke orang tersebut, “Minta rotinya, Pak..”.
Heheh.. tengsin bo.
Sesak lantas menyeruak dalam hati saya di atas bus sore itu atas
perbuatan bapak kaos coklat susu di samping saya, lalu teringat pada kejadian beberapa tahun lalu di pesawat. Saya termasuk
orang yang masih sering beranggapan bahwa keterbatasan ekonomi lebih erat dengan kejahatan, kekufuran,
bahkan kekafiran. Astaghfirullah.. di sore itu mungkin Allah hendak mengajarkan pada
saya bahwa kebijaksanaan dan
hikmah yang besar bisa saja kita peroleh dari keterbatasan yang ada. Si bapak paruh baya yang kurus, membeli sebungkus permen jahe
dengan selembar uang 2000an
dari kantongnya,
menawarkan saya –orang tidak
beliau kenal– yang secara random duduk di samping beliau di atas bus umum, dengan senyum.. padahal mungkin beliau beli permen itu
juga karena lapar, seperti saya beberapa tahun lalu di pesawat. Sepanjang perjalanan itu
saya perhatikan si bapak, yang terus mengunyah permen jahe sepanjang
perjalanan, sampai habis satu bungkus. Hehe. Kalau gak lapar, berarti si bapak
emang hobi banget sama permen jahe. :p
Sejak sore itu, saya kembali merasa
seperti diingatkan:
Setiap kali makan di
tempat umum di samping
orang lain, harus menawarkan makanan yang saya makan kepada orang di samping saya. Bukankah itu pula
ajaran Rasulullaah Saw teladan
alam? J
bahkan tetangga yang dapat
mencium bau masakan kita saja sudah
memiliki hak untuk mencicipi masakan yang kita buat.. Lagipula, sangat bisa jadi, orang-orang yang tidak kita kenal di samping kita sebenarnya sedang dalam keadaan yang sama persis dengan saya di pesawat beberapa tahun lalu: laperrrr
beraatt!! :D
Alhamdulillaah..
kamarternyamansedunia.homswithom.
130513. 21.00 WIB