
http://nadiagani.blogspot.com/2012/11/gajah-mati-meninggalkan-belang-manusia.html
"..Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti." ~Surah Ali Imran (3): 198
Seluruh peristiwa yang terjadi dalam hidup selalu memiliki pengertian. Tidak ada sesuatu pun yang ada di alam ini sia-sia, diciptakan tanpa makna. Segalanya pasti bermakna, ada sebuah pengertian di dalamnya yang Allah ingin ajarkan kepada kita. Namun, tidak semua pengertian tersebut dapat dipahami oleh pikiran kita.
Sebagian dari pengertian-pengertian hidup memang bisa dipahami oleh pikiran kita. Sebagai contoh:
Namun, sebagian pengertian hidup yang lain tidak bisa dipahami oleh pikiran kita.... hanya bisa dipahami oleh perasaan kita. Sebagai contoh:
Pengertian-pengertian hidup akan selalu tumbuh seiring tumbuhnya hidup manusia. Misalnya, pengertian ‘susah’ bagi anak-anak dan orang dewasa yang telah tumbuh kedewasaannya tentu akan berbeda. Seorang anak kecil kalah berebut permen dengan teman-teman sepermainannya akan merasa susah, namun bila ada orang dewasa yang merasa susah dengan alasan yang sama yaitu kalah berebut permen maka kita akan langsung dapat menyimpulkan bahwa orang dewasa itu tidak tumbuh kedewasaannya. Sama halnya ketika saat kecil kita membalas orang yang menghina kita dengan hinaan yang serupa misalnya, maka bila saat dewasa kita masih pula membalasnya dengan hinaan dapat disimpulkan bahwa jiwa kita gagal tumbuh. Failure to thrive. Seharusnyalah seorang yang tumbuh jiwanya, akan membalas penghinaan dengan kebaikan-kebaikan pada orang yang menghinanya. Itulah gambaran jiwa yang tumbuh.
Tumbuh kembangnya pengertian dalam hidup kita bergantung pada 3 hal, yaitu kemampuan kita untuk mendengar, berpikir, dan beri’tiraf.
Dalam hidup, kita selalu dihadapkan pada dua peristiwa:
1. Tidak menyenangkan, dengan membawa pesan yang menyenangkan. Misal:
2. 2. Menyenangkan, dengan membawa pesan yang tidak menyenangkan. Misal:
Kalimat “...AWAS KAU!” yang dipesankan oleh kedua peristiwa tersebut adalah benar, karena sesuai dengan firman Allah dalam Surah Ibrahim ayat 7:
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Orang-orang yang mau mendengar pesan-pesan dari setiap peristiwa yang terjadi, dan benar-benar memahami apa yang harus didengarnya dari peristiwa-peristiwa tersebut akan lebih memilih untuk memperoleh peristiwa yang pertama dibanding kedua. Mereka lebih senang mendapati peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan, karena mereka dapat ‘mendengar’ pesan-pesan menyenangkan yang dibawa oleh peristiwa tersebut.
Sedangkan berpikir... berpikir adalah tanda mengerti. Orang yang berpikir adalah orang yang menemukan kesenangan dirinya ada pada hal-hal yang tidak disenanginya dan menemukan ketidaksenangan dirinya ada pada hal-hal yang disenanginya. Hal ini jelas. Karena hanya dengan berpikir mendalam atas setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita lah, kita dapat memiliki ‘konsep berpikir terbalik’ ini. Berbeda bila seseorang menemukan kesenangan dirinya ada pada hal-hal yang disenanginya dan menemukan ketidaksenangan dirinya pada hal-hal yang tidak disenanginya, maka orang tersebut tidak perlulah berpikir. (Iya apa iyaa..? :p). Maka kini saatnyalah kita sama-sama bertanya pada diri kita, Apakah kita telah berpikir?????
Setelah mendengar dan berpikir, tahap selanjutnya yang harus dilakukan untuk menumbuhkembangkan pengertian dalam hidup kita adalah beri’tiraf. I’tiraf berarti mengupas diri. Mengakui kesalahan-kesalahan yang ada di dalam diri (dan hati). Hati manusia ibarat bawang, ada 4 lapisan yang harus di kupas dan dibuang agar dapat benar-benar mendapati hati yang putih bersih seperti lapisan terdalam bawang yang berwarna putih. Untuk dapat mencapai hingga lapisan keempat ini, seseorang harus benar-benar sabar perlahan-lahan mengupas lapis demi lapis bawang, yang biasanya berisiko tinggi mengalami hiperlakrimasi (alias meneteskan air mata). Begitupun dalam melakukan i’tiraf.. harus sabar, perlahan-lahan.. tidak jarang bahkan seharusnya memang sampai mengeluarkan air mata karena benar-benar menyadari kekurangan dan kelemahan yang ada di dalam diri. Lapisan-lapisan tersebut adalah (dari yang terluar sampai terdalam):
1. Hubbul ma’shiyah. Cinta kepada kemakshiyatan. Lapisan ini dikupas dengan cara kita mengakui kesalahan dan dosa-dosa yang tampak, seperti bergosip, marah-marah, menghina orang, pacaran, berkata kasar, dll.
2. Hubbud dunya. Cinta dunia. Lapisan ini dikupas dengan cara kita mengakui kesalahan dan dosa yang tidak tampak. Cinta dunia meliputi rasa sombong (merasa masih ada orang lain yang lebih hina daripada dirinya), riya’ (melakukan sebuah amal untuk dipuji orang lain), takabbur, iri hati, dll. Hal-hal tersebut tidaklah tampak, hanya diri sendiri dan Allah Ta’ala yang tahu.
3. Hubbul madhayyi’. Cinta pada hal-hal yang sia-sia. Lapisan ini dikupas dengan cara mengakui segala salah yang tidak termasuk dosa, misal nonton TV, mengobrol tidak penting, makan makanan yang terlalu enak tanpa ada kebutuhan untuk memakannya, dll. Astaghfirullaah... huhuuu...yang bagian ini udah mulai beraaaattttt bangeettttttt..
4. Hubbun nafsi. Cinta pada diri sendiri. Lalai dari mengingat Allah. Lapisan ini dikupas dengan mengakui kelalaian diri dari mengingat Allah. Misal saat di jalan naik kendaraan, dari awal sudah diniatkan mau berdzikir sepanjang jalan sampai ke tempat tujuan tiba-tiba di jalan melewati kubangan air terkena cipratan (atau semprotan, kalo banyak. hehe) air karena kendaraan lain yang melaju sangat cepat di samping kita.. nah lho! bergantikah dzikir kita..??? Syukur alhamdulillaah bila tidak.. J
Sumber:
- Alquran al-Kariim
- Kajian Ustadz Syatori Abdurrauf
jogjaistimewa, 080412
10.13 pm